15/10/11

DEATH


DEATH

There are many ways of deaths may we encounter
in a course of life.

Death of nursery days ... happy, sulit hours of play.

Death of childhood dreams ... when the reality of personal
limitations overtakes fantasy.

Death of innocence ... the first awareness of evil.
Death in living home ... when separation registers.

Death in becoming parent ... when you become the caretaker,
rather than receiver .

Death in the expectation of a perfect marriage.

Death in yours child’s first day of school ... when the front door
closes and silence grows heavy.

Death in the empty nest ... when you no longer feel needed.

Death in the realization that spme expected goals will never be
reached.

Death in the departure of friends ... a nurturing source gone.

Death of freedom ... when an incapacity confines an elderly
love one to your home.

Death in the awareness of aging ... when mind and body won’t
respond as they once did.

Death in the wind-up of working days ... an identity lost.

Death in the end ... that great enemy of health and youth.

But God says,

“Death is the gateway to life”

It was so at the cross where Christ
paid the penalty for sin.

It was through His death for us
that God’s gate to life opened.

Death shouted triumph ... for two days.
But on the third day, resurrection

flung wide the doors of eternal life.
What an incalculable gift for
those accepting the death of
Another in their place. 

For those refusing, the sentence
of death remains. Irreversible.

Final.

But for those who enter, it is a
Beginning, not an ending.

12/10/11

Sahabat



S A H A B A T

Ada pepatah orang Inggris yang mengatakan: “A friend in need is a friend indeed”. Sahabat dalam duka pada hakekatnya, dialah sahabat yang sesungguhnya. Seorang teman mengalami dukacita, tatkala orang tuanya dipanggil Tuhan dari dunia yang fana ini. Kepadaku hal itu diberitahukan. Lalu dengan bergegas, aku pun mendatangi rumah duka. Lalu seperti biasanya, kita duduk di kursi yang telah disediakan. Aku membawa buku bacaan, sehingga dapat melewatkan waktu, tanpa harus gelisah dibuatnya. Aku duduk di ruangan itu sambil sesekali menengok teman yang sedang berduka. Aku tidak melakukan apa pun di sana, selain duduk dan menyertai dia di dalam kedukaannya. Waktupun berlalu, ternyata aku sudah menghabiskan waktu di sana selama lima jam. Setelah itu aku pun permisi kepada sahabatku itu, mohon pamit pulang ke rumah.

Almarhum meninggal pukul empat pagi hari. aku datang ke rumah duka pukul delapan pagi. Karena almarhum akan dikuburkan pada esok hari, maka aku pun datang lagi pada malam harinya. Seperti biasa, aku hanya duduk dan menyertai dia dalam kedukaannya. Aku pulang dari rumah duka pada pukul sebelas malam. Besok harinya aku datang lagi jam sepuluh pagi. Di pagi hari itu dilaksanakan upacara adat sebagaimana biasanya dilaksanakan suku mereka. Aku melihat semua acara itu dengan rasa empati terhadap temanku yang berduka. Sepatah kata pun tidak ada keluar dari mulutku. Tetapi hatiku turut merasakan apa yang dia alami. 

Aku menemani sahabatku itu hingga orang tuanya dikuburkan di Taman Pemakaman Umum (TPU). Setelah acara pemakanan selesai, aku pamitan dengan sahabatku itu. Lalu ia berkata: “Terima kasih bang, kehadiran abang selama dua hari ini, sangat menghibur hati kami”. Seperti yang telah aku katakan di atas, aku tidak berbuat apa-apa di rumah duka. Hanya duduk menyertai mereka yang berduka. Tetapi ternyata, apa yang aku lakukan punya makna bagi orang yang berduka. Kehadiran kita untuk duduk bersama dengan orang yang berduka, menjadi satu penghiburan yang sungguh bermakna dengan mereka.

Tatkala kita berpikir tentang pelayanan, sering kali kita memahaminya sebuah aktifitas. Jika kita tidak berbuat apa-apa, maka kita merasa tidak berbuat sesuatu. Seperti contoh yang sudah diutarakan di atas. Jika kita hadir di rumah duka itu, maka pertanyaan kita ialah: ngapain aku ada di sini. Dari pada bengong-bengong di sini, maka lebih baik aku berbuat sesuatu. Pada hal, sekalipun kita hanya bengong di rumah duka itu, kehadiran kita punya makna bagi orang yang sedang berduka.

Jika kita hadir di rumah duka, kita akan beraktifitas. Memberikan kata-kata penghiburan. Lalu setelah itu kita pergi mengerjakan aktifitas yang lain. Kita telah dapat berkata kepada diri sendiri: ‘aku telah menghibur keluarga itu’. Kita tidak perlu bertanya di dalam hati kita: ‘apa benar, keluarga yang berduka itu terhibur oleh karena kata-kata penghiburan yang kita katakan?’ Kita akan mengatakan: ‘itu bukan urusanku, itu adalah urusan dia!’ Jika demikian adanya, maka pada hakekatnya kita bukan sahabat dari orang yang berduka.

Sahabat yang sejati, ia turut ambil bagian di dalam kehidupan sahabatnya. Jika sahabat itu bersukacita, ia turut menikmati sukacita sahabat tersebut. Jika sahabat itu berdukacita, ia pun turut ambil bagian di dalam dukacita tersebut. Itulah sebabnya Paulus mengatakan agar kita “menangis dengan orang yang menangis, tertawa dengan orang yang tertawa”.

Ada lagi pengalaman yang sangat bermakna dalam hidup ini tentang melayani seseorang. Pada malam yang sudah larut, ponsel saya berdering. Aku pun meraihnya. Kepada teman-temanku telah kukatakan bahwa mereka dapat menghubungi aku kapan saja, bahkan bila pun waktu sudah sangat larut malam. Aku teringat akan perumpamaan Tuhan Yesus tentang seorang sahabat kedatangan tamu pada malam hari. ia mengetuk pintu rumah sahabatnya pada malam hari itu juga. Pintu diketok, maka pintu pun dibukakan.

Di seberang terdengar suara yang berat disebabkan hati yang sesak, oleh karena kesedihan yang dia rasakan. Lalu dia mencoba menumpahkan isi hatinya kepadaku  lewat ponselnya. Aku mendengarkan keluhannya dengan sabar. Di sana sini aku memberikan komentar singkat, sehingga ia memahami, bahwa saya peduli dengan apa yang sedang diperbincangkannya. Kami ngobrol selama dua jam di malam itu. Setelah bicara selama dua jam, disertai interupsi saya di sana sini, percakapan pun berakhir.
Ia berkata: “Terima kasih bang, karena sudah sedia mendengarkan curahan hati yang sedang sesak. Aku sudah menemukan jalan keluarnya dari percakapan kita tadi!” Aku tidak menasihati dia tentang masalah yang dia hadapi. Aku hanya bertanya dan bertanya lagi bagaimana pandangan dia tentang masalah tersebut. Bagaimana seharusnya masalah tersebut dihadapi. Ia menemukan sendiri jawabannya. Aku hanya mendengarkan isi hatinya dan berempati dengan masalah yang dihadapinya. 

Dalam kisah yang dituturkan itu, aku tidak banyak berbuat. Tetapi tatkala kita tidak berbuat apa-apa secara fisik, pada hakekatnya kita berbuat secara kejiwaan. Orang yang menderita membutuhkan teman yang turut bersama dia mengalami derita itu. Tatkala orang turut ambil bagian di dalam deritanya, maka derita itu pun berkurang di lubuk hatinya.

Tuhan Yesus pun menerapkan hal yang sama terhadap orang-orang yang percaya kepada-Nya. Ia mengatakan kepada Saul: “Akulah Yesus yang engkau aniaya itu!” kita tahu, Saulus tidak pernah menganiaya Yesus secara fisik. Orang yang percaya kepada Yesus yang dia aniaya. Tetapi Yesus mengatakan Dialah yang dianiaya oleh Saulus. Yesus empati terhadap setiap orang yang percaya kepada-Nya.

Tatkala Yesus melayani di dunia ini, Ia sibuk membagikan diri-Nya menjadi sahabat orang yang terpinggirkan di masyarakat. Ia menjadi sahabat pemungut cukai dengan orang berdosa. Ia memberikan diri-Nya, waktu-Nya kepada orang yang terpinggirkan itu. Ia membawa kesembuhan bagi orang yang terpinggirkan itu. Jika kita menyebut diri sebagai orang Kristen, pengikut Kristus, maka sudah sangat wajar jika kita memberikan diri kita kepada orang yang membutuhkannya, sebagaimana Kristus telah melakukannya lebih dulu.

Sayang seribu kali sayang, kita sangat sibuk dengan diri kita sendiri, sehingga tidak ada lagi waktu untuk orang lain. Jika kita tidak menjadi pusat perhatian, tatkala kita tidak bisa mengaktualisasi diri kita di dalam satu acara tertentu, maka acara itu sangat membosankan bagi kita. Masalahnya, kita sibuk dengan diri kita sendiri! Padahal, kita tidak dapat hidup sendirian di dunia ini. Bayangkanlah, jika saudara hanya sendirian di dunia ini, bukankah hal itu satu penderitaan yang amat sangat! Tuhan telah menetapkan bahwa kita hidup di dunia ini dengan sesama. 

Bertobat pada hakekatnya berpaling dari diri sendiri dan mengarahkannya kepada Yesus. Allah ingin membuat kita sama seperti Yesus. Agar hal itu dapat terjadi, maka kita harus berpaling dari diri sendiri. Kita bukan lagi pusat dari segala sesuatu, melainkan orang lain. Di dalam diri orang lain, aku menemukan Tuhan! Sahabat ada di mana-mana, maka Tuhan pun ada di mana-mana. 

Ada satu kisah tukang sepatu dari Rusia yang mengesankan hati. Dikisahkan Ivan, sang tukang sepatu bermimpi dijumpai Tuhan Yesus di dalam mimpinya. Tuhan berkata kepada Ivan: “Aku akan mampir di rumahmu esok pagi”. Ia sangat bersukacita mendengar kabar itu, lalu ia terbangun dari tidurnya. Ia segera membangunkan isterinya dan mengatakan bahwa Tuhan Yesus akan datang ke rumah mereka esok pagi.

Isterinya bertanya: “Jam berapa Ia datang?” Ivan lupa bertanya kepada Tuhan tentang hal itu. Lalu mereka mempersiapkan sarapan pagi yang mewah untuk tamu terhormat tersebut. Tunggu punya tunggu, Tuhan tidak datang juga. Lalu mereka sepakat mengambil kesimpulan, mungkin pada saat makan siang. Lalu mereka bergegas untuk mempersiapkan makan siang yang mewah pula. Tunggu punya tunggu, Tuhan tidak datang juga. Mereka kecewa. Tetapi masih ada harapan satu lagi. Di saat makan malam tiba, Tuhan akan datang. Bukankah Ia sudah berjanji! Makan malam yang mewah pun disajikan.

Tetapi Tuhan tetap tidak datang. Lalu dalam kekecewaan berat, mereka tidur dan didera kelelahan. Setelah tidur nyenyak, kembali Ivan didatangi Tuhan di dalam mimpi. Tuhan Yesus berkata: “Tiga kali Aku datang tadi siang ke rumahmu, tetapi engkau menolak Aku” demikian kata Tuhan! Lalu Ivan membantah dan berkata: “Kapan Tuhan datang dan kami tidak terima. Bukankah kami sudah menunggu kedatangan Tuhan?”

Yesus berkata: “Aku datang pagi hari dalam diri seorang anak kecil. Aku meminta makanan yang engkau sediakan itu, tetapi engkau menolak Aku”. Memang pada pagi hari itu ada seorang anak meminta makanan itu, tetapi Ivan mengatakan: “Itu untuk Tuhan Yesus. Pergi sana”. Yesus melanjutkan perkataan-Nya: “Aku datang padamu pada siang hari dalam diri seorang pengemis, engkau pun menolak Aku. Bahkan demikian juga dalam malam hari. Aku datang dalam diri seorang yang kemalaman, engkau tetap menolak Aku”.

Ivan tertunduk dan dengan rasa malu ia berkata: “Seandainya aku tahu, itu adalah Tuhan, aku pasti menyambut-Mu”. Tuhan Yesus pernah berfirman: “Apa yang engkau perbuat terhadap orang yang paling kecil ini, engkau perbuat untuk Aku”. Kisah itu menuturkan kepada kita, Tuhan hadir di dalam kehidupan kita bukan hanya melalui Roh Kudus-Nya yang tinggal di dalam hati kita. Ia juga hadir di dalam hidup ini melalui teman-teman yang ada di sekitar kita. Jika kita bersahabat dengan mereka, pada hakekatnya kita sedang membina persahabatan dengan Tuhan sendiri.

Rasul Paulus pun menerapkan persahabatan dengan semua orang yang dilayaninya. Ia turut merasakan penderitaan orang yang dia layani. Hal ini terlihat di dalam suratnya kepada jemaat Korintus, “dan, dengan tidak menyebut banyak hal lain lagi, urusanku sehari-hari, yaitu untuk memelihara semua jemaat-jemaat. Jika ada orang merasa lemah, tidakkah aku turut merasa lemah? Jika ada orang tersandung, tidakkah hatiku hancur oleh dukacita” II Kor 11:28-29. Paulus meniru Tuhannya. Ia memposisikan diri menjadi bagian yang tak terpisahkan dari orang-orang yang ada di dalam kehidupannya, di dalam pelayanannya.

Tatkala kita memusatkan perhatian kita kepada orang lain, maka kita akan semakin serupa dengan Kristus. Sebab Kristus juga memusatkan perhatian-Nya kepada orang lain. Ia sendiri berkata: “Anak manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya bagi banyak orang”. Perpalingan dari diri sendiri kepada orang lain membuat kita semakin diubahkan di dalam keserupaan kita dengan Kristus.

Manusia sekarang ini senantiasa mempertanyakan kepada dirinya sendiri: ‘apa yang akan saya dapatkan melalui kegiatan tersebut’. Di sisi lain, seorang sahabat senantiasa mempertanyakan dirinya: “Apa yang akan saya berikan kepada sahabatku”. Saya terkesan dengan apa yang disuarakan oleh Pelihat Hanani kepada Raja Asa yang dicatat oleh kitab II Taw 16:9 “...mata TUHAN menjelajah seluruh bumi untuk melimpahkan kekuatan-Nya kepada mereka yang bersungguh hati terhadap Dia”. Aku memahami firman itu dengan pengertian: Tuhan mencari orang yang ingin dijadikan-Nya sahabat-Nya. Ia adalah kasih. Kasih senantiasa memerlukan obyek yang dikasihi. Oleh karena itu Allah membutuhkan manusia untuk dijadikan-Nya sebagai sahabat.

Ia ingin tinggal bersama sahabat-Nya itu. Ia ingin berjalan bersama dengan sahabat-Nya itu di sepanjang perjalanan hidup yang diperuntukkan-Nya bagi sang sahabat. Ia ingin menikmati persahabatan itu dalam artian yang sesungguhnya. Apa yang aku utarakan ini bukanlah isapan jempol semata-mata. Nyanyian orang percaya di sepanjang zaman mengutarakan hal yang sama juga. 

“Yesus kawan yang sejati, bagi kita yang lemah,
tiap hal boleh dibawa dalam doa pada-Nya.
Oh, betapa kita susah dan percuma berlelah,
bila kurang pasrah diri dalam doa padanya.

Marilah kita menantikan kehadiran Sang Sahabat Yang Sejati itu di dalam hidup ini. Ia datang bukan dengan kemegahan dan kemuliaan surgawi-Nya. Itu akan kita lihat dalam hari penghakiman kelak. Sekarang Ia datang di dalam diri sesama kita yang membutuhkan pertolongan. Lihatlah di sekelilingmu, siapa tahu Tuhan ada di sana dan sedang menantikan uluran tanganmu untuk memberikan pertolongan dari hati seorang sahabat.

Mungkin Ia datang di dalam diri orang yang sedang berduka. Atau juga mungkin datang di dalam diri orang yang sedang bersukacita. Lirik lagu ini menjadi bermakna bagi jiwa yang menantikan Tuhan:
Open our eyes Lord
we want to see Jesus,
to reach out and touch Him,
 and say that we love Him.
Open our ears Lord
and help us to listen,
open our eyes Lord,
we want to see Jesus.

09/10/11

Paduan Suara



PADUAN SUARA DALAM  GEREJA

Pendahuluan

Menyanyi adalah bagian yang tak terpisahkan dalam ibadah Kristen. Dalam Gereja kita HKBP, menyanyi adalah pelayanan yang sangat dinikmati oleh sebagian besar anggota jemaat. Ada ungkapan yang dikatakan orang tentang jemaat kita, yaitu ‘The singing Church.”  Gereja yang bernyanyi. Jika paduan suara menyanyi di setiap kebaktian, maka kita akan mengatakan bahwa kegiatan mereka itu hidup. Tanpa kita mempertimbangkan apakah sikap hati mereka menampakkan kehidupan Kristen dalam hidup ini atau tidak. Gereja kita pun tidak membuat satu aturan yang jelas tentang menyanyi dalam kebaktian. Gereja Babtis mengaturkan paduan suara berada yang ada di dalam jemaat itu berada dalam satu tempat dengan pelayan ibadah. Mereka menghadap jemaat. Hal itu menggambarkan bahwa para penyanyi tersebut terhisapkan dengan para pelayan lainnya. Konfesi HKBP tahun 1953 dan tahun 1996 pun tidak berbicara tentang pokok permasalahan kita. Aturan dan Peraturan HKBP tahun 2002 pun tidak menyinggung masalah tersebut.


Oleh karena itu orang membuat pemahaman sendiri tentang makna dari menyanyi di dalam kebaktian kita. Hal ini menggambarkan betapa bermaknanya menyanyi bagi pemahaman kita. Semua pandangan itu biar bagaimana pun didasarkan pada satu pandangan filosopi tertentu. Sekalipun mereka mengatakan mereka tidak memiliki pandangan filosopi tertentu.  Ada orang yang mengatakan bahwa mereka menyanyi di gereja, karena suka menyanyi, itu adalah hobbi baginya. Orang lain mengatakan bahwa mereka melayani Tuhan melalui nyanyian itu. Ada banyak pandangan orang jadinya tentang menyanyi di gereja. Mereka menyanyi dengan berbagai macam motifasi. Inilah yang menjadi sorotan kita dalam makalah ini.


Kita tahu dari sejarah gereja, dari sejak semula, orang Kristen mula-mula itu telah mengenal bermacam-macam nyanyian. Hal itu terlihat jelas dalam Kol. 3:16. Paulus menasihati jemaat agar menyanyi dengan nyanyian mazmur, nyanyian pujian dan nyanyian rohani. Ini menandakan bahwa jemaat mula-mula itu sangat akrab dengan nyanyian dalam ibadah. Jemaat mula-mula itu mewarisi nyanyian di dalam ibadah dari sejarah yang panjang Yudaisme. Sebab kita tahu orang Kristen mula-mula terdiri dari orang Yahudi. Namun kita tahu  juga Gereja Tuhan telah ditinggalkan para rasul sebelum mereka menyusun sebuah aturan yang otoratif tentang bagaimana seharusnya kita menyanyi melalui satu paduan suara di dalam kebaktian. 


Para Rasul itu memusatkan perhatian mereka untuk memberitakan karya penebusan Kristus bagi orang berdosa. Mereka mendapatkan perlawanan dari antara orang Yahudi atas berita keselamatan yang mereka saksikan. Belum tuntas mereka membela Injil dengan otoritas dari Allah, mereka telah dipanggil pulang oleh yang mengutus mereka, ke dalam kekekalan. Sekarang tinggallah jemaat hanya mengandalkan ilham Roh Kudus, untuk menentukan bagaimana aturan menyanyi di dalam kebaktian di sepanjang sejarah gereja.


Satu hal yang pasti tentang pola yang dipakai para rasul untuk memahami karya Yesus Kristus ialah: mereka mendasarkan pemahaman itu dengan firman Allah yang tertulis dalam Perjanjian Lama. Kita menemukan banyak kutipan ayat-ayat dari Perjanjian Lama yang dipakai para rasul dalam menjelaskan karya Yesus Kristus di kayu salib. Oleh karena itu sangat aman bagi kita untuk memahami makna dari nyanyian di jemaat di dalam terang firman Allah dalam Perjnjian Lama. Sama seperti mereka yang memiliki pandagan filosopi yang sudah kita bicarakan di atas, kita akan memakai sudut pandang Alkitab untuk memahami motivasi kita di dalam menyanyi di dalam satu kebaktian. Mungkin ada orang yang tidak setuju dengan pandangan ini. Satu hal pasti, seorang Kristen menjadikan Alkitab menjadi tuntunan bagi dia di dalam memahami kehidupan itu sendiri. Tetapi marilah kita menerima sudut pandang yang berbeda jika orang tidak setuju dengan sudut pandang ini. Namun saya yakin pandangan ini adalah pandangan yang didasarkan kepada firman Allah.


Ibadah Korban
Dalam Perjanjian Lama kita baca, khususnya dalam kitab I Tawarikh 25, di sana  diatur mereka yang harus menyanyi di Bait Allah. Para penyanyi itu adalah imam. Tugas seorang imam di Bait Allah ialah mempersembahkan korban. Oleh karena itu menyanyi adalah bagian dari ibadah korban. Karena itu marilah kita sejenak menyoroti pelaksanaan ibadah korban di Bait Allah.


Kita tahu ibadah korban di Bait Allah diatur begitu ketat sebagaimana diajarkan kepada kita dalam kitab Imamat.  Mereka yang boleh mempersembahkan korban di sana sudah ditentukan, yaitu para imam.  Dalam terang pemahaman bahwa nyanyian adalah bagian dari persembahan korban di Bait Allah, maka marilah sejenak kita melihat ibadah korban di Bait Allah. 


Kita tahu bahwa korban yang dipersembahkan di mezbah korban bakaran di pelataran Bait Allah ada dua macam. Pertama ialah korban berdarah dan yang kedua ialah korban tidak berdarah. Korban berdarah bisa seekor burung dara, atau seekor kambing atau domba, bisa juga seekor sapi, tergantung kemampuan dari mereka yang mempersembahkan korban tersebut. Sementara korban tidak berdarah bisa tepung, minyak, buah-buahan, perpuluhan dan juga nyanyian. Catatan bagi kita di sini tentang korban itu  ialah: Allah yang menentukan apa yang boleh dan yang tidak boleh dipersembahkan bangsa Israel kepada-Nya. Ini punya makna yang sangat dalam. Dalam ibadah kepada Allah bukan manusia yang menentukan apa yang dapat dan yang tidak dapat diberikan kepada Allah sebagai perembahan. Hal itu tetap berlaku hingga saat ini, sebab Allah yang kita sembah tidak berubah dari dulu, sekarang sampai selama-lamanya.


Hukum yang berlaku atas semua korban di Bait Allah itu ialah: ‘tidak boleh ada cacat celanya’ demikianlah kita baca dalam kitab Imamat yang mengatur ibadah korban di mezbah korban bakaran. Semua korban yang dipersembahkan di Bait Allah itu menunjuk kepada Yesus Kristus, yang menurut para penulis Perjanjian Baru adalah Anak Domba Allah yang tidak ada cacat celanya, dan yang mati untuk menghapus dosa dunia. Jika korban itu menunjuk kepada  Yesus Kristus, maka seharusnya korban pujian kita pun harusnya menunjuk kepada Kristus juga. 


Sebuah pertanyaan diajukan kepada kita, apa dan siapa yang dinyatakan nyanyian yang kita nyanyikan dalam kebaktian ? Pernah ada orang yang mengatakan sebuah pernyataan tatkala dia mendengar koor bernyanyi dalam sebuah kebaktian : “Rasanya aku seperti berada di surga tadi tatkala mereka menyanyi itu”! Jelas nynayian itu menghadirkan sesuatu di dalam pengalaman orang tadi.


Di lain tempat diceriterakan orang tentang seseorang yang hendak membunuh diri di kota London. Dia memutuskan akan terjun ke sungai Thames. Tatkala dia berjalan melintasi lapangan Trafalgar, dia mendengar  Salvation Army bernyanyi di lapangan itu, menyanyikan lagu “Pass me not o gentle saviour, hear my humble cry. While the other thou art calling, do not pass me bye. Saviour, Saviour hear my humble cry, while the other thou art calling do not pass me bye.”. Tatkala dia mendengar nyanyian tersebut, perlahan-lahan dia tertunduk dan berlutut. Dia menyanyikan nyanyian itu dari lubuk hatinya yang paling dalam sebagai sebuah doa pribadi. Dia bertobat dan ikut Salvation army. Itulah contoh sebuah nyanyian yang menunjuk kepada Tuhan Yesus Kristus. 


Pemazmur mengatakan bahwa Allah bersemayam di atas puji-pujian Israel. (Mzm. 22:4) ini satu pernyataan yang perlu kita pertimbangkan, tatkala kita bernyanyi di dalam kebaktian kita. Siapa yang tinggal dalam pujian kita ? Diri kita, atau  Allah?


Ada lagi satu hal yang perlu dicatat dalam persembahan yang dipersembahkan orang Israel di dalam Perjanjian Lama. Mereka hanya mempersembahkan sesuatu yang berasal dari hasil jerih lelah mereka. Hal ini memberikan pengertian kepada kita, bahwa persembahan yang dipersembahkan adalah hasil dari pergumulan hidup mereka sendiri. Sebab apa yang memberi kita hidup, yang berasal dari pekerjaan kita, itulah yang dapat dipersembahkan kepada Tuhan di Bait Allah. 


Hal yang sama dapat dikenakan dalam pujian. Tatkala kita bernyanyi, apakah itu adalah gambaran dari pengalaman dan penghayatan kita, atau yang lain? Ada orang yang bernyanyi dalam bahasa Inggris di dalam satu kebaktian. Mereka tidak tahu apa arti dari lirik yang mereka ucapkan, tetapi memang nyanyian itu enak di dengar. Bagaimana mereka menghayati apa yang  mereka tidak mengerti? Filosopi mereka dalam menyanyi tentulah bukan  karena iman, tetapi demi kenikmatan telinga semata-mata. 


Bukan Allah yang perlu disembah di sana, tetapi penampilan manusiawi semata-mata. Ada anggota koor yang menyanyi dengan bagus dalam satu kebaktian, tetapi mereka tidak turut ambil bagian dalam kebaktian itu. Mereka tampil di altar, masuk tatkala di panggil, keluar tatkala selesai menyanyi, persis seperti selebriti yang tampil di panggung. Ada juga anggota paduan suara masuk ke dalam ruangan gereja hanya untuk menyanyi; setelah selesai, dia keluar lagi. Katanya dia hanya datang untuk menyanyi. Saya tak percaya mereka memuji Allah dengan pujian tersebut. Sebab Allah tidak pernah menerima ibadah kita yang tidak utuh. Dia memberikan kepada kita apa yang terbaik dari Surga, yaitu Anak-Nya Yang Tunggal. Karena itu pun Dia menuntut totalitas hidup kita. 


Kita harus sadar bahwa yang kita persembahkan di dalam nyanyian kita adalah kehidupan itu sendiri. Sesuatu yang menyentuh hidup. Paduan suara di dalam satu kebaktian gereja adalah juga setara dengan pengkhotbah. Mereka memberitakan Injil yang hidup, bukan Injil yang dikemas dalam kemasan yang indah tetapi tidak tersentuh oleh para pendengar.

Tempat Nyanyian Dalam Ibadah Korban

Sekarang kita akan melihat tempat korban tidak berdarah di dalam  ibadah korban dalam Perjanjian Lama. Sebagaimana diutarakan dalam kitab Imamat, maka korban pertama yang dipersembahkan di atas mezbah ialah korban penghapus dosa, setelah itu menyusul korban bakaran, lalu korban keselamatan atau dengan nama lainnya ialah korban persekutuan. Dari urut-urutan itu, kita tahu bahwa korban tidak berdarah berada di belakang korban berdarah. Korban tidak berdarah baru dapat dipersembahkan setelah dosa diselesaikan lebih dahulu. Itu adalah ketetapan ilahi. Hal yang sama menurut hemat saya berlaku juga dalam kehidupan kita sekarang ini. Mereka yang boleh menyanyi di kebaktian ialah mereka yang telah mendapatkan pendamaian dari Allah melalui Yesus Kristus. 


Satu pertanyaan bagi kita harus diajukan ialah: apakah semua orang yang menyanyi di dalam kebaktian itu telah mendapatkan pendamaian dari Allah? Bahkan ada dalam kebaktian pernah kejadian koor yang menyanyi sebelum pengakuan dosa. Seharusnya tidak ada koor yang bernyanyi sebelum berita pengampunan dosa. Sayang kita sekarang ini tidak lagi memahami apa makna dari kebaktian itu. Sering kita menjalaninya tanpa makna sehingga acap kita mengatakan ibadah kita monoton.


Sekarang kita akan menyoroti nyanyian sebagai bagian dari persembahan. Untuk itu marilah kita menyoroti bagian ini dengan meneliti kitab I Taw.25:1-7. di sana dengan jelas diwartakan bahwa tugas menyanyi di Bait Allah itu dilakukan oleh kaum imam. Itu berarti mereka yang boleh menyanyi di Bait Allah hanyalah keturunan Harun. Jika seorang Israel yang bukan keturunan Harun punya talenta menyanyi yang luar biasa, ia hanya boleh menyanyi di luar Bait Allah. Tugas itu tidak dapat diambil oleh siapa pun kecuali oleh imam. Itu adalah ketentuan yang berlaku untuk selama-lamanya bagi Israel.


Kita orang percaya termasuk keturunan imam menurut kesaksian Perjanjian Baru. Hal itu sangat jelas dikatakan Rasul Petrus dalam I Pet. 2:9. “Kamulah bangsa terlipilih imamat yang rajani umat pilihan Allah” itu berarti mereka yang bernyanyi dalam kebaktian haruslah juga seorang yang sudah lahir baru, anak Allah. Seorang yang jelas telah dikeluarkan dari kegelapan dunia ini  dan masuk ke dalam terang ilahi yang luar biasa. 


Ketentuan bahwa mereka yang melayani Allah hanyalah imam tidak pernah dibatalkan Alkitab. Yesus berkata Dia datang bukan untuk melenyapkan hukum Taurat, tetapi untuk menggenapinya. Yesus mendirikan satu umat baru, Israel baru yang terdiri dari para imam. Tugas mereka ialah untuk melayani Allah di dunia ini. Salah satu bagian dari pelayanan itu ialah mempersembahkan pujian kepada Dia dalam satu kebaktian. Penyanyi dalam sebuah koor adalah seorang imam. Itu ketetapan ilahi yang berlaku untuk selama-lamanya. Demikian kesaksian Alkitab.

Persembahan Yang Terbaik

Pelajaran lain yang dapat kita timba dari kitab Tawarikh di atas ialah: para penyanyi itu dilatih lebih dahulu bernyanyi dan mereka harus sampai ke taraf ahli, barulah mereka diperbolehkan untuk bernyanyi di Bait  Allah. Hal itu sejajar dengan prinsip yang sudah diatur lebih dahulu, yaitu semua persembahan kepada Allah tidak boleh ada cacat celanya. Sering kali kita mendengar ucapan di tengah-tengah anggota jemaat, bahwa yang penting adalah hati dalam memuji Allah. Suara fals juga tidak apa-apa! 


Memang Allah melihat ke dalam hati kita. Namun hal itu bukan menjadi alasan untuk tidak mempersiapkan korban yang tak bercacat kepada Allah. Hati memang sangat perlu. Tetapi jika kita menghormati Allah yang telah begitu mengasihi kita; dan yang sangat menawan hati kita, bagaimana mungkin kita tidak memberikan yang terbaik bagi Dia? ketidakadaan pengenalan akan Allah yang telah berkarya luar biasa di dalam hidup ini menjadi latar belakang dari alasan di atas.


Menurut hemat saya secara pribadi Allah hanya menerima persembahan kita jika kita persembahkan itu menurut kehendak-Nya. Rasul Paulus mengatakan dalam Roma 11:36, “Sebab segala sesuatu berasal dari Dia, dan oleh Dia dan bagi Dia, bagi diadah kemuliaan sampai selama-lamanya.” Allah tidak hanya melihat hasil dari perbuatan kita, melainkan Allah tetap mempermasalahkan bagaimana kita melakukannya. Segala sesuatu yang tidak berpadanan dengan kehendaknya adalah dosa. Yesus pun tatkala Dia hidup di dunia ini, Ia tidak memberlakukan kehendak-Nya, melainkan kehendak Dia yang mengutus-Nya. (Yoh. 5:30).


Hal lain yang kita timba dari kitab Tawarikh di atas ialah, mereka menyanyi hanya untuk Tuhan. Tak seorang pun yang mendengar pujian mereka. Sebab mereka menyanyi di Bait Allah. Sementara kita tahu orang Israel biasa hanya boleh sampai di pelataran bait Allah. Dalam ruang-ruang yang ada di Bait Allah hanya dapat dimasuki oleh kaum imam. Sebuah pertanyaan perlu kita ajukan terhadap diri sendiri, maukah paduan suara di dalam gereja menyanyi dengan begitu serius tanpa ada orang yang menontonnya? Di biara–biara Katolik para biarawan dan biarawati itu menyanyi di kapel mereka. Tidak ada anggota jemaat yang mendengar mereka, karena mereka menyanyi untuk Tuhan.


Sebuah contoh tentang pujian yang diutarakan Perjanjian Baru terdapat dalam Kol 3:16. “Hendaklah perkataan Kristus diam dengan segala kekayaannya di antara kamu, sehingga kamu dengan segala hikmat mengajar dan menegur seorang akan yang lain dan sambil menyanyikan mazmur, dan puji-pujian dan nyanyian rohani, kamu mengucap syukur kepada Allah di dalam hatimu” Paulus menghendaki jemaat menyanyikan bermacam-macam nyanyian. Ada nyanyian mazmur, ada nyanyian rohani ada nyanyian puji-pujian. Di akhir ayat itu dia mengatakan agar semuanya itu dilakukan di dalam hati, tanpa ada seorang pun yang mendengarkannya, sebab dipersembahkan di dalam hati. Hal itu bukan berarti tidak diperkenankan menyanyi di dalam kebaktian. Kita hanya mau menekankan bahwa pujian itu dipersembahkan kepada Allah, bukan untuk manusia.


Contoh lain kita lihat dalam kitab Wahyu, Why. 5:9 “Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: "Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka meterai-meterainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa”. Orang yang telah diselamatkan itu memuji Allah karena apa yang telah diperbuat-Nya bagi orang percaya. Mereka menyanyi di Surga, di sana pujian diberikan hanya kepada Allah. Pokok puji-pujian mereka pun adalah karya penebusan Kristus, Sang Anak Domba yang telah duduk di atas tahta kemuliaan-Nya.


Demikian juga kita baca dalam Why. 14:3. orang – orang tebusan itu menyanyikan nyanyian baru yang tidak ada seorang pun yang mengerti makna nyanyian itu selain dari mereka yang telah ditebus. Ada satu hal yang menarik kita baca dalam Alkitab tentang mereka yang menyanyi. Para malaikat tidak dapat mengerti akan makna nyanyian orang-orang tebusan itu. Bukankah itu sesuatu yang luar biasa? 


Di dunia ini pun mungkin saja hal ini terjadi. Orang yang belum mengalami penebusan Allah secara pribadi, tidak akan mengerti mengapa kita menuntut orang untuk menyanyi dalam kondisi seperti yang kita minta. Hanya orang yang telah ditebus yang mengerti. Ada banyak pujian yang diberikan kepada Allah yang dicatat Alkitab. Para malaikat diberitakan memuji Allah. Tapi satu hal yang pasti, hanya orang tebusan yang disebut Alkitab menyanyi memuji Allah. Dalam kitab Nabi Yesaya kita baca para Serafim memuji Allah, tetapi mereka tidak disebut menyanyi memuji Allah. Demikian juga para malaikat di Padang Efrata, tatkala Yesus lahir ke dunia. Mereka memuji Allah, tetapi tidak dengan nyanyian. Demikian juga kita baca dalam kitab Wahyu pasal 5, malaikat tidak disebut menyanyi. Hanya orang–orang tebusan yang dapat memuji Allah dengan  nyanyian. Menyanyi memuji Allah, adalah hak prerogatifnya anak-anak tebusan Allah. Bukankah itu merupakan hak istimewa ?


Wahyu 15:3-4 juga memberitakan nyanyian orang–orang tebusan di Surga. Di sana kita lihat pokok puji-pujian mereka adalah keadilan dan kebenaran Allah yang sudah menjadi nyata. Jadi sangat jelas puji-pujian kita berceritera tentang karya Allah di dalam hidup orang beriman. Masihkah itu yang menjadi motivasi kita di dalam menyanyi di kebaktian gereja kita? 


Budaya selebriti rasa-rasanya telah menyelusup masuk ke dalam relung relung hati kita yang paling dalam, sehingga apa yang kita tampilkan bukan lagi Injil dengan segala kesederhanaannya. Kita ingin menampakkan paduan suara yang megah, yang mengundang tepuk tangan yang meriah, yang mengenakkan telinga kita. Tak peduli apakah hal itu menyentuh lubuk hati yang paling dalam atau tidak, itu tidak lagi menjadi  soal.

Dampak Nyanyian

Tiba saatnya bagi kita untuk menelusuri pengaruh nyanyian bagi para pendengar. Dari kitab Mazmur kita tahu bahwa nyanyian sangat besar pengaruhnya bagi umat Israel. Pemazmur mengatakan bahwa Allah bertahta di atas puji-pujian Israel. Itu berarti Allah hadir bahkan tinggal di tengah-tengah umat yang memuji Dia. Itulah sebabnya Israel menetapkan para imam harus bernyanyi di Bait Allah di Yerusalem siang dan malam. Pada awal pengalaman bangsa itu di tepi Sungai Yordan, di bawah pimpinan Yosua, mereka melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana sorak sorai mereka dapat merobohkan tembok Yeriko. Itu menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi mereka, sehingga di belakang hari, mereka memasukkan puji-pujian sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam ibadahnya kepada Allah.


Pada waktu penahbisan Bait Allah di Yerusalem, para imam bernyanyi, lalu Bait Allah dipenuhi dengan awan. Itu adalah simbol dari kehadiran Allah. Hal ini menguatkan apa yang sudah kita katakan di atas, bahwa Allah bertahta di atas puji-pujian Israel. Pengalaman Raja Yosafat juga menjadi perhatian kita dalam hal pengaruh puji-pujian bagi para pendengar. Tatkala Raja Yosafat berperang melawan bani Amon dan bani Moab, raja menyuruh para imam maju di depan pasukannya, serta menyanyi memuji Allah. (II Taw 20). Kita tahu, tatkala para imam itu bernyanyi, maka terjadilah kekacauan di pihak musuh dan akhirnya mengalami kekalahan. Betapa besar pengaruh puji-pujian.


Lain lagi pengalaman dari pemazmur dalam Mzm. 149. Pemazmur ini mengalami nyanyian puji-pujiannya seperti pedang bermata dua. Pada waktu itu senjata inilah senjata yang paling canggih bagi seorang prajurit. Lalu pemazmur mengatakan puji-pujiannya dapat melaksanakan pembalasan terhadap bangsa bangsa, dapat juga membelenggu dan merantai para raja-raja. Alangkah indahnya jika semua paduan suara yang menyanyi di dalam kebaktian gereja HKBP dapat juga menghasilkan hal-hal yang sudah kita bicarakan di atas. Bukankah dengan jalan demikian akan ada kebangunan rohani di seluruh HKBP!


Sekarang kita mau melihat contoh dari Perjanjian Baru. Dalam kitab Kisah Para Rasul kita baca pengalaman Rasul Paulus dan Silas di penjara kota Filipi. Tatkala mereka selesai di sesah, punggung masih berdarah, Paulus dan Silas bernyanyi memuji Tuhan. Lalu terjadilah gempa Bumi. Betapa luar biasa dampak dari pujian itu. Jika Allah hadir di dalam ibadah kita dan namanya di tinggikan, maka akan ada pembaharuan di dalam diri orang yang mendengarnya. 


Marilah kita lihat sejenak orang-orang tawanan yang ada bersama dengan Silas dan Paulus di penjara itu. Pintu sudah terbuka, ada kesempatan untuk melarikan diri. Tetapi mereka tetap ada di dalam sel. Karena Allah hadir di dalam ruangan itu dalam segala kemuliaan-Nya. Bukankah kita mengharapkan adanya hasil seperti itu dialami oleh setiap orang yang hadir di dalam ibadah kita, tatkala mendengar para paduan suara di gereja kita memperdengarkan pujian kepada Allah.

Komposisi Nyanyian

Komposisi nyanyian terdiri atas tiga bagian irama, melodi dan harmoni. Nyanyian itu mempengaruhi pribadi kita yang mendengarnya. Maka ketiga bagian dari nyanyian ini pun mempengaruhi diri kita. Setiap nyanyian yang menjadi sebuah persembahan kepada Allah, seharusnya menyentuh pikiran, perasaan dan tubuh kita. Di sini ditemukan masalah dengan paduan suara yang menyanyikan nyanyian dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh para pendengar, seperti telah kita katakan di atas, yakni bahasa Inggris, bahasa Latin dan bahasa bahasa lainnya. Karena nyanyian itu tidak membawa pesan verbal apa pun kepada saya, maka nyanyian itu hanya masuk ke dalam sebagian dari diri saya. Karena hanya sebagian, maka nyanyain itu tidak dapat mempengaruhi hidup saya.


Penekanan yang tidak seimbang pada komposisi ini pun tidak membawa sesuatu seperti yang kita harapkan. Ada nyanyian seperti musik disko, lebih menekankan ritme. Maka musik itu sangat mempengaruhi tubuh kita, sebab ritme nyanyian mengarah kepada tubuh kita. Oleh karena itu para pendengar dibuat bergoyang tubuhnya. Demikian juga dengan penekanan-penekanan lainnya. Kita tahu, tatkala nyanyian dipersembahkan, hal yang harus nampak di dalam nyanyian itu adalah Yesus Kristus dengan segala karya yang telah dlakukannya bagi kita orang berdosa. Hal ini tidak dapat dilupakan oleh para penyanyi di dalam kebaktian gerejawi.


Dari sudut nada, nyanyian juga terbagi tiga bagian. Nada tinggi menuntun kita ke atas – dalam hal ini ke Surga – sementara nada menengah menuntun kita ke dalam hati, lalu nada rendah menuntun ke arah bawah, yaitu tubuh kita. Dari komposisi itu pun kita melihat bahwa amanat yang dibawakan di dalam nyanyian itu haruslah dapat menghantarkan hati kita ke hadirat Allah, menghantarkan amanat itu masuk ke dalam lubuk hati kita yang paling dalam, dan menghantarkan amanat itu untuk kita lakukan di dalam kehidupan sehari-hari. Itulah tugas dari satu paduan suara di dalam kebaktian gerejawi. 


Ada orang yang mengatakan bahwa nyanyian menjadi voor raider bagi pemberitaan firman. Bahkan orang mengatakan bahwa Martin Luther lebih banyak memenangkan orang untuk Kristus melalui lagui-lagu yang dia gubah ketimbang khotbah-khotbahnya. Betapa strategisnya peran paduan suara dalam ibadah Kristen.

Citra Nyanyian

Bagian terakhir yang akan kita bicarakan tentang nyanyian ialah citra. Setiap nyanyian membawa citra tersendiri. Citra itu dibangun melalui penghayatan dan penguasaan teknik menyanyi dari anggota paduan suara. Tatkala paduan suara menyanyi, proses pembentukan citra itu pun terjadi. Kita tahu, bahwa orang bilang kebaktian kharismatik adalah kebaktian ribut, sementara kebaktian gereja HKBP disebut orang lain kebaktian monoton; ada juga yang menyebutnya dengan kebaktian hikmat. Semua sebutan itu berasal dari nyanyian yang dinyanyikan di dalam ibadah terebut. Citra terbentuk melalui nyanyian. Satu pertanyaan perlu diajukan kepada kita, citra apakah yang dibangun oleh paduan saudara di dalam gereja yang saudara layani?


Dalam rangka memahami citra yang akan terbentuk di dalam kebaktian yang dimungkinkan oleh satu paduan suara, maka perlu kita memahami citra yang seharusnya terbentuk. Kita tahu, Allah menciptakan kita sesuai dengan gambar dan rupa Allah. Sudah kita katakan di atas, mereka yang menyanyi itu adalah imam-imam perjanjian baru; orang orang yang telah dipulihkan citranya melalui penebusan Yesus Kristus. Melalui penebusan itu orang percaya dijadikan sebagai representasi Kristus (Rom.8:29). Keberadaan seperti Kristus itu bersinar di dalam dan melalui para penyanyi paduan suara tersebut. Oleh karena itu, setiap paduan suara menyanyi, mereka menghadirkan Surga di dalam kebaktian tersebut.


Betapa kita merindukan setiap paduan suara di dalam gereja HKBP dapat menghadirkan surga di setiap ibadah yang dilaksanakan di setiap hari minggu dan kebaktian-kebaktian lainnya. Namun sangat disesalkan, ada juga, bahkan mungkin banyak jumlahnya, paduan suara bukannya menghadirkan Surga dalam kebaktian, tetapi sebaliknya membawa perpecahan. Sudah merupakan rahasia umum, banyak paduan suara di dalam jemaat HKBP terpecah belah sebagai produk dari perpecahan internal dalam paduan suara itu sendiri. Citra yang mereka hadirkan di dalam kebaktian adalah perpecahan bukan persekutuan.


Sebagai orang yang telah ditentukan Allah menjadi pengemban citra-Nya di dunia ini, orang Kristen, dalam hal ini para penyanyi harus sadar, apapun yang dilakukannya, khususnya tatkala dia menyanyi, maka ada satu citra yang terbentuk. Jika nyanyian itu satu nyanyian yang bermutu, maka Allah direpresentasikan dengan baik. Orang bisa berjumpa dengan Allah. Tetapi jika nyanyian itu dinyanyikan sembarangan, maka kita mempresentasikan Allah dalam keadaan buruk. Bagaimana dengan paduan suara yang saudara ikuti?

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...