28/07/11

Bekerja




BEKERJA DALAM PERPEKTIF ALKITAB

Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal, yang akan diberikan Anak Manusia kepadamu; sebab Dialah yang disahkan oleh Bapa, Allah, dengan meterai-Nya."

Pendahuluan
Bekerja adalah sesuatu tugas yang mulia dalam pandangan Alkitab. Oleh karena itu bekerja adalah sesuatu yang berkenan di mata Tuhan. Alkitab menyaksikan kepada kita bahwa Allah pun bekerja. Tuhan Yesus mengatakan kepada orang Yahudi bahwa Allah Bapa itu bekerja, karena itu Ia pun bekerja. “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga" (Yoh. 5:17). Kita akan menelaah pokok bahasan ini dengan pemahaman bahwa bekerja mencakup bidang yang luas, di samping pekerjaan sebagai karir. Bekerja yang kita maksud juga mencakup pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, sebagai pekerja sosial, dimana kita melakukannya dengan sukarela, termasuk di dalamnya melayani sebagai aktifis di dalam persekutuan jemaat.
Bagi bangsa Yahudi jabatan sebagai ‘rabbi’ adalah satu jabatan yang mulia. Namun mereka dilarang untuk menerima upah dari pekerjaan sebagai rabbi. Oleh karena itu, setiap ‘rabbi’ akan bekerja untuk mencukupkan kebutuhan mereka sehari-hari. Maka tidak heran jika ada rabbi yang bekerja sebagai karyawan, pedagang, pengrajin dan profesional. Hal ini menggambarkan pemahaman orang Yahudi tentang bekerja. Bagi mereka bekerja adalah suatu perbuatan yang mulia.
Orang Yahudi juga sangat menghargai pekerjaan tangan. Tiap keluarga Yahudi yang saleh diceriterakan orang akan mewariskan satu keahlian pekerjaan tangan bagi anak-anaknya. Profesinya bisa saja sangat berbeda dengan hasta karya itu. Ada orang Yahudi yang piawai membuat kapal layar di dalam sebuah botol, pada hal profesinya adalah seorang bankir. Ia mewarisi keahlian itu dari orang tuanya. Sementara orang tuanya mewarisinya dari generasi sebelumnya. Demikianlah keahlian itu diwariskan turun temurun. Sehingga ada orang yang dikenal melalui keahlian mereka dalam hasta karya. Dalam kitab Para Rasul kita mendengar nama Simon si kusta tukang penyamak kulit. Ia dikenal orang sebagai tukang penyamak kulit. Bekerja adalah perbuatan yang mulia.
Sebagai seorang beriman kepada Yesus Kristus, dan diutus ke dunia ini menjadi saksi, maka bekerja bagi kita adalah satu sarana untuk menyaksikan Dia ke dalam dunia ini. Bekerja adalah bagian dari ibadah kita kepada Allah. Dalam terang kesaksian itu, kita akan memahami masalah bekerja adalah masalah iman. Karena itu kita akan memandangnya dari sudut pandang iman Kristen.

Imago Dei
Kita sudah mengatakan di atas bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah. Karena itu, kita akan menyoroti pokok bahasan ini dalam terang doktrin iman Kristen. Salah satu dari doktrin iman Kristen yang kita pakai sebagai pertimbangan ialah: Imago Dei – gambar atau citra Allah. Alkitab mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah segambar dengan Allah. Para sarjana teologi menjalani perdebatan yang panjang tentang makna dari keserupaan kita dengan Allah. Salah satu dari wujud Imago Dei di dalam diri kita ialah: kreatifitas. Pemahaman ini didukung oleh Bapa Gereja Agustinus, juga didukung oleh Bonaventura, Aquinas. Allah kita itu kreatif. Karena itu manusia pun sebagai Imago Dei, dikehendaki-Nya menjadi manusia yang kreatif. Jadi manusia yang bekerja, ia bekerja dalam kreatifitasnya, apa pun pekerjaan yang dia geluti.
Pekerjaan yang dilakukan dalam kreatifitas, sebagai wujud dari Imago Dei, akan mengungkapkan siapa kita ketimbang apa yang kita kerjakan. Perwujudan Imago Dei di dalam diri orang tebusan merupakan satu bukti dari pengakuan iman kita. Pengakuan iman, kita ungkapkan melalui pengakuan verbal dalam kebaktian. Tetapi pengakuan itu  juga kita ungkapkan melalui pekerjaan kita. Itulah kesaksian kita terhadap dunia ini. Lebih spesifik lagi, kita mengharapkan, semua pekerjaan yang kita lakukan dalam kreatifitas semakin meningkat, tatkala seseorang menjadi Kristen. Orang Kristen menampakkan Allah melalui pekerjaannya. Oleh karena itu orang yang sudah dilahirkan kembali, harus memantulkan kreatifitas Allah dalam takaran yang lebih, ketimbang orang lain yang belum lahir baru.
Kreatifitas dalam hidup, memanggil kita untuk memiliki komitment iman yang di dalamnya ada ketaatan dan tanggung jawab atas implikasi penuh dari firman Allah. Di dalam Kristus kita berada dalam komunitas. Melalui komunitas itu kita bertanggung jawab kepada Allah, juga terhadap diri sendiri dan sesama yang ada dalam komunitas. Sikap hati kita terhadap dunia ini sungguh sangat penting dalam iman Kristen. Jadi jika kita benar dengan Allah – oleh karena iman dalam Kristus –  keadaan itu mempunyai implikasi agar kita melayani Dia dan sesama.
Sebagai seorang Kristen, kita harus melihat dunia ini sebagai satu kesempatan untuk bersaksi. Kesaksian itu kita demonstrasikan melalu pekerjaan yang sedang kita geluti. Hal itu kita lakukan untuk menampakkan imago, sebab kita telah dibuat menjadi Imago Dei. Tatkala kita semakin serupa dengan imago, dan kita mengimagokan Imago Dei, pada saat itulah orang akan melihat Allah di dalam diri kita. Jadi bekerja adalah jalan bagi kita untuk menampakkan Imago Dei ke dalam dunia ini.

Inkarnasi

Doktrin lain dari iman Kristen yang sangat sentral ialah inkarnasi. Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus. Allah yang transenden menjadi immanen. Melalui Yesus Kristus, Allah hadir dengan cara berbeda di dalam ciptaan. Fakta bahwa Dia datang dalam daging memberikan kepada kita jaminan dan penghiburan bahwa Ia beserta kita. Ia tahu sukacita, kesedihan, kegagalan, kelemahan dan keberdosaan kita. Namun Ia mengasihi kita dalam keberadan yang sudah jatuh ke dalam dosa. Ia adalah Allah yang ada di sini dan peduli. Kristus bukannya menjadi kembaran kita. Keilahian-Nya digantikan oleh kemanusiaan-Nya. Keseimbangan antara transendensi dan imanensi diperlukan. Sisi imanensi-Nya terlihat dalam inkarnasi. Allah begitu mengasihi kita, sehingga Ia tinggal bersama kita.
Inisiatif Allah membuat sebuah jalan bagi orang agar didamaikan kepada diri-Nya sendiri, menunjuk kepada persekutuan yang kekal dan yang fana. Roh dan materi, firman dan daging. Inkarnasi merupakan masuknya Allah dalam alur sejarah manusia. Dengan jalan demikian, terjadi penyangkalan ungkapan yang mengatakan bahwa yang rohani itu baik, sementara yang jasmani itu jahat, sehingga kedua-duanya bertentangan. Yang kudus masuk ke yang profan, maka berakhirlah dualitas Yunani.
Dengan pemahaman seperti itu, kita melihat bahwa bekerja mencari nafkah bukan lagi masalah duniawi, melainkan masalah rohani; atau masalah surgawi. Dalam perspektif iman Kristen, tidak ada lagi yang rohani dan yang jasmani. Yang rohani itu adalah hal jasmani; sementara yang jasmani itu adalah masalah rohani. Inkarnasi menjadi jaminan akan hal itu. Yesus juga mengatakan bahwa Ia adalah roti hidup. Ia mengatakan hal itu sebab memang Ia memecah-mecah roti untuk makanan bagi banyak orang. Namun Yesus juga mengatakan bahwa Ia adalah roti yang turun dari surga.
Dari sudut pandang doktrin inkarnasi, kita soroti masalah bekerja. Pertama, kasih dan kerendahan hati. Kita harus menggarisbawahi kerendahan hati menjadi sikap hati dari orang yang bekerja. Gambaran itu kita dapat dari contoh Tuhan Yesus yang berinkarnasi. Ia menjadi manusia dan merendahkan diri. Allah yang tidak terbatas menjadi terbatas. Kristus menanggalkan kemuliaan-Nya dan menjadi daging, mengosongkan diri atas kuasa dan otoritas. Ia menjadi yang terendah dari yang terendah. Ia mengalami penolakan dari orang banyak. Ia mengalami penghinaan, malu, penderitaan fisik dan mental, dituduh secara tidak adil dan akhirnya mati secara memalukan di kayu salib. Kristus melepaskan segala sesuatu agar bisa menjadi hamba bagi mereka yang seharusnya adalah rakyat-Nya. Jika Tuhan kita menjalani kehidupan-Nya di dunia ini seperti itu, bagaimana mungkin kita sebagai pengikut-Nya tidak menjalani hidup seperti itu?
Puncak dari kisah dan kerendahan hati Yesus yang dilukiskan dalam Alkitab sangat indah, yakni pencucian kaki murid-murid sebelum mereka makan perjamuan paskah. Yesus Kristus adalah pribadi yang memperuntukkan diri bagi orang lain, demikian Bonhoeffer. Dia tidak pura-pura, tidak ada eksklusifisme. Dia bergaul dengan pemungut cukai dan para pelacur sebagaimana ia bergaul dengan orang terpelajar dan tokoh agama. Ia tidak berpaling dari orang yang membutuhkan dan melayani dengan lemah lembut orang yang datang kepada-Nya. Yesus Kristus Anak Allah adalah seorang Hamba.
Dengan menjadikan diri-Nya sebagai contoh, Yesus mengajarkan kepada para murid untuk mengikuti jejak-Nya. Cf Yoh. 13:13-15. Orang Kristen yang bekerja tidak dikecualikan dari tuntutan akan kerendahan hati. Mereka harus mengalami penderitaan, kesukaran demi menampakkan Kristus ke dalam dunia ini. Apa pun yang kita kerjakan, kita kerjakan dengan kasih dalam kerendahan hati, seperti Yesus mengerjakannya. Paulus mengatakan kepada para hamba, agar mereka melakukan pekerjaan mereka seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia. Kita pun dalam melakukan pekerjaan kita dimotori pemahaman seperti itu.
Hal Kedua yang akan kita soroti dalam konteks inkasrnasi ialah: relevansi. Tatkala kita melakukan pekejaan kita sehari-hari, kita harus memahami relevansi dari pekerjaan itu dalam konteks iman kita. Jadi tatkala kita melakukan pekerjaan, pada hakekatnya kita sedang mengkomunikasikan iman kita melalui pekerjaan tersebut. Karena iman yang dikomunikasikan, maka kontennya haruslah sesuatu yang relevan. Jika kita bekerja hanya supaya kebutuhan kita terpenuhi, namun kebenaran dari iman tidak terpancar melalui apa yang sedang kita geluti, maka pada hakekatnya kita gagal melakukan tugas kita sebagaimana dikehendaki Allah.
Dia yang tinggal di tempat yang tak terhampiri, yang lebih besar dari bahasa dan simbol-simbol manusiawi; yang transenden, sekarang dapat dikenal, datang kepada kita yang immanen, sehingga dapat kita mengerti. Yesus sebagai Dia yang mewujud bukan sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Ia jadi relevan. Itulah yang diajarkan kepada kita dalam doktrin inkarnasi. Pemahaman mendahului iman. Penebusan adalah sebutan bagi mereka yang menerima pribadi dan karya Sang Penebus.
Penerimaan itu tidak mungkin terlaksana, jika seeorang tidak tahu bahwa Yesus mati untuk orang berdosa dan kebangkitan-Nya membawa keselamatan bagi mereka yang percaya. Seseorang tidak mungkin percaya sebelum ia tahu apa yang harus dipercayai. Jalan satu-satunya masuk ke dalam pengetahuan ini ialah pengajaran.
Bahasa adalah jalan satu-satunya untuk mengutarakan fakta tersebut. Kesaksian yang menohok dari Injil adalah wilayah bahasa-bahkan juga di dalam pekerjaan. Jika saya tahu bahwa pekerjaan yang saya geluti adalah bagian dari kesaksian saya terhadap dunia akan karya Yesus Kristus, maka apa pun yang saya kerjakan akan ada relevansinya dengan Injil itu sendiri.
Injil mengatakan bahwa aku harus mengasihi Allah dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap akal budi. Saya juga harus mengasihi sesama seperti diri sendiri. Pekerjaan saya pun harus membuat Injil menjadi relevan. Karena itu saya harus bertanya, apakah pekerjaan ini semakin membuat saya mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, roh dan bahkan dengan segenap kekuatan. Apakah saya semakin mengasihi sesama melalui pekerjaan ini? Injil menjadi relevan melalui pekerjaan kita.
Pokok ketiga dalam doktrin inkarnasi ialah: bentuk dan isi. Inkarnasi dapat dilihat sebagai satu karya yang sempurna dari yang dikatakan dan dilakukan Kristus. Bentuk dan isi saling menopang. Hidup-Nya (bentuk) berhubungan dengan apa yang dikatakan-Nya (isi). Ada penyatuan di dalamnya, bentuk dan isi tidak terpisah, pada hal pada hakekatnya hal itu  terpisah. Dalam inkarnasi mereka menyatu. Pemahaman seperti itu mewarnai pekerjaan kita. Hidup kita adalah bentuk dari inkarnasi itu, sementara apa yang kita kerjakan merupakan isi dari inkarnasi itu sendiri. Apa yang dilihat orang dalam pekerjaan kita? Kristus atau diri kita sendiri? Seharusnya orang melihat Kristus dalam diri kita. Yesus mengatakan kepada murid: “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35). Melalui pekerjaan, kita menampakkan Kristus!
Kemajuan
Pokok pembicaraan orang dewasa ini jika dihubungkan dengan pekerjaan ialah: kemajuan. Tolok ukur yang kita tentukan sebagai indikator dari kemajuan ialah: materi, kognitif dan kekuasaan. Jika seseorang itu memiliki semakin banyak harta, semakin pintar dan semakin berpengaruh, maka kita katakan: ia mengalami kemajuan dalam kehidupannya. Di sisi lain Alkitab menyaksikan bahwa Allah tidak terkesan dengan kekayaan, kepintaran dan pengaruh yang kita miliki. Nabi Yeremia menyuarakannya: “Beginilah firman TUHAN: "Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya bermegah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah firman TUHAN" (Yer. 9:23-24). Materi, kepintaran dan kekuasaan kita, tidak memiliki dimensi kekekalan, sebagaimana disuarakan Yesus di dalam nas yang kita telah baca di atas.
Tolok ukur kemajuan yang harus diikutsertakan dalam menilai kemajuan itu sendiri ialah: segala sesuatu yang ada hubungannya dengan relasi kita. Tolok ukur pertama  ialah: sosial. Kedua ialah: emosi, sementara yang ketiga ialah: spiritual. Unsur sosial berarti berbicara tentang relasi kita dengan orang lain. Unsur emosial berarti berbicara tentang relasi kita dengan diri kita sendiri. Unsur spiritual berarti relasi kita dengan Allah. Kemajuan seharusnya mencakup ketiga bidang tersebut. Sayang seribu kali sayang, sekarang ini ketiga bidang itu tidak dipakai orang sebagai tolok ukur kemajuan. Sementara Alkitab menjadikan hal itu sebagai tolok ukurnya.
Adakah orang mengukur kemajuannya dengan semakin banyak yang orang yang terlibat dengan dia dalam hidup ini. Maksud kita ialah: terlibat dalam relasi yang dibangun berdasarkan kasih dan kerendahan hati, dibangun dalam relevansi dan jelas bentuk dan isinya. Dengan jalan demikian, kita semakin terlibat dengan kehidupan orang lain dalam relasi yang membangun! Jika kita semakin maju, itu berarti relasi kita dengan diri kita juga semakin baik. Kita semakin mengasihi, semakin rendah hati, semakin sabar, semakin murah hati, sebagaimana di uraikan Paulus dalam I Korintus 13. Dilatarbelakangi pemahaman Imago Dei dan Inkarnasi tadi, kita akan membuat pekerjaan itu sebagai alat untuk mencapai kemajuan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Allah dari kita.
Rasa Puas
Agar hal itu dapat tercapai, maka sikap hati kita di dalam menggeluti pekerjaan yang akan menyaksikan Kristus, kita mutlak memiliki sikap hati, merasa puas dengan apa yang kita kerjakan. Sejarawan Arthur M. Schlesinger mengatakan bahwa “ketidakpuasan yang tidak terpadamkan menjadi ciri dari masyarakat sekarang ini”. Kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang ada pada kita. Sementara itu di sisi lain, Alkitab dalam kitab Kejadian melaporkan bahwa Allah merasa puas dengan apa yang diciptakan-Nya. Ia melihat semua ciptaan-Nya, lalu Ia beristirahat pada hari yang ketujuh. Soal rasa puas ini disuarakan juga oleh Paulus dalam I Tim 6:6 “Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar”. Kata cukup dalam nas tersebut artinya adalah puas.
Marilah kita belajar dari rasul Paulus tentang rasa puas dalam melakukan pekerjaan. Paulus mengutarakan tentang rasa puasnya dalam surat Filipi, Flp 4:11-13. Paulus mengatakan bahwa ia telah belajar mencukupkan diri. Itu berarti rasa puas bukan sesuatu yang dapat kita miliki secara instant. Rasa puas harus dipelajari. Sisi lain yang diungkapkan Paulus tentang rasa puas ialah: hal itu tidak berhubungan dengan keadaan atau persediaan. Rasa puas tumbuh oleh karena latihan yang intens tiap-tiap hari. Agar Paulus dapat sampai ke tingkat pengalaman puas dalam hidup ini, ia bergantung kepada kuasa Yesus Kristus yang bekerja di dalam dirinya.
Persekutuan kita secara pribadi dengan Kristus, merupakan sumber yang tak habis-habisnya mengalir di dalam hati kita untuk menuntun kita ke dalam rasa puas yang kita butuhkan. Richard A Swenson, M.D. mengatakan bahwa “rasa puas adalah kemerdekaan yang dialami ketika kemakmuran atau kemiskinan bukan merupakan hal yang penting. Rasa puas adalah menerima apa yang kita punyai dan menginginkan sesuatu secukupnya. Semakin kita memilih untuk merasa puas, semakin Allah memerdekakan kita. Dan semakin Ia memerdekakan kita, semakin kita memilih untuk merasa puas.
Kita melihat Paulus yang bernyanyi di tengah malam, tatkala mereka dipenjara di kota Filipi. Pada siang harinya, mereka telah disesah oleh serdadu Roma. Punggung mereka masih berdarah. Tetapi mereka bernyanyi memuji Tuhan pada malam hari itu. karena nyanyian itu, terjadilah gempa, sehingga penjara jadi roboh. Herannya, Paulus dan Silas tidak melarikan diri. Kenapa? Karena mereka memiliki kepuasan dalam persekutuan dengan Allah. Segala sesuatu yang terjadi di luar diri mereka, tidak mempengaruhi rasa puas yang ada di dalam hati. Itulah pengalaman yang sangat indah di dalam bersekutu dengan Allah yang hadir di dalam hidup kita.

Kesederhanaan
Bukan rasa puas saja yang dibutuhkan agar kita dapat menjadikan pekerjaan sebagai alat untuk kesaksian bagi Kristus. Sisi lain yang kita butuhkan ialah: kesederhanaan. Sudah kita katakan di atas, Yesus meninggalkan sebuah teladan bagi kita untuk diikuti. Tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang menyangkal bahwa Yesus menjalani kehidupan-Nya dalam kesederhanaan. Ia lahir di kandang domba. Ia tidak punya  tempat untuk menaruh kepala. Bahkan kuburan-Nya pun adalah kuburan yang dipinjam dari orang lain. Bahkan kesaksian Gereja purba mengatakan bahwa Ia menjadi miskin Cf. II Kor. 8:9.
Dunia mendorong kita melalui pekerjaan untuk mengumpulkan harta di dunia ini sebanyak-banyaknya. Sementara Yesus mengatakan agar kita menyimpan harta di surga. Ada orang yang membuat para frase dari ungkapan Yesus: “dimana harta mu berada, di situ juga hatimu berada” dengan ungkapan ini: “Apa yang engkau hargai menentukan apa yang engkau lakukan”. Jika kita menghargai firman Allah bagi kehidupan kita, maka hal itu akan menjadi motivator bagi kita untuk merealisasikan Imago Dei dan Inkarnasi. Kesadaran akan Imago Dei dan Inkarnasi menumbuhkan rasa puas di dalam hati kita.
Kesederhanaan pada hakekatnya adalah sikap hati yang sifatnya internal. Jika hal itu adalah wilayah internal, maka Dia yang bekerja di dalamnya seyogianya adalah Roh Kudus. Dia bekerja di dalam diri kita melalui firman Allah yang diajarkan, sehingga Ia mewujudkan Kristus di dalam diri kita, sebagaimana disuarakan Imago Dei dan Inkarnasi. Jika wilayah internal ini telah beres, maka hal hal lain yang merupakan wujud penerapan dari kesederhanaan itu akan mewujud dengan sendirinya.
Dalam spirit kesedehanaan, tidak menjadi masalah bagi kita untuk berada di dalam posisi yang bagaimana pun juga. Di latarbelakangi rasa puas dan kesederhanaan, tidak ada strata kehidupan yang asing bagi kita. Yesus dapat bergaul dengan siapa pun juga, tanpa turut ambil bagian dengan keberdosaan mereka. Sebab Ia puas dengan apa yang ada pada diri-Nya  dan hidup dalam kesederhaan yang pas.


Keseimbangan
Satu lagi sisi internal yang sangat dibutukan untuk dapat menjadikan pekerjaan sebagai alat untuk menampakkan Kristus di dalam hidup ini ialah: keseimbangan. Hidup Yesus Kristus tatkala Ia menjejakkan kaki-Nya di Palestina dua ribu tahun yang lalu penuh dengan keseimbangan. Pada satu ketika, Ia dicari-cari para murid, karena begitu banyak orang yang membutuhkan-Nya. Tetapi Ia berkata: “Marilah kita pergi ke tempat yang lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana Aku memberitakan Injil”  (Mark. 1:38). Yesus pun mengajarkan keseimbangan: “…Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat 23:23).
Mereka yang mengejar karir, pada umumnya mengorbankan satu sisi dari kehidupannya. Biasanya yang dikorbankan itu adalah keluarga dan anak-anak. Contoh keluarga yang hancur karena orang tua mengejar karir sudah banyak terdengar di tengah-tengah masyarakat. Ada seorang ibu yang mengambil langkah yang sangat luar biasa, yakni mengundurkan diri dari pekerjaannya. Pada hal, ibu itu sukses dalam karir. Keputusannya itu mendapat tentangan dari keluarga besar, karena mereka berpikir sayang benar, meninggalkan posisi yang strategis seperti itu. alasan ibu itu ialah: demi anaknya. Ia melihat bahwa anaknya tertinggal dalam perhatian karena ia mengejar karir. Hidup itu harus seimbang, antara karir dan keluarga, dan aspek kehidupan lainnya.
Visi
Agar dapat mewujudkan pekerjaan yang menjadi kesaksian bagi dunia ini, maka satu hal yang sangat perlu bagi kita ialah: menentukan visi kehidupan kita. Kitab Amsal menyuarakan bahwa hidup tanpa visi menciptakan kekacauan (Ams. 29:18). Kitab Wahyu menuliskan bahwa akhir dari sejarah manusia ditentukan Allah melalui tahta putih. Dalam Why. 7: 9, kita baca: “Kemudian dari pada itu aku melihat: sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya, dari segala bangsa dan suku dan kaum dan bahasa, berdiri di hadapan takhta dan di hadapan Anak Domba, memakai jubah putih dan memegang daun-daun palem di tangan mereka”.
Allah melihat jauh ke depan tentang apa yang akan terjadi dalam sejarah manusia. Sebagai Imago Dei dan Kristus yang tinggal di dalam diri kita, maka seharusnya kita pun memiliki visi tentang masa depan kita. George Barna mendefinikan visi sebagai  berikut: “sebuah gambaran masa depan yang sangat jelas yang Allah komunikasikan kepada para pelayan-Nya berdasarkan pengenalan yang akurat tentang Allah, diri sendiri dan lingkungan”. Dari defenisi itu kita dapat melihat bahwa semua orang dapat memiliki visi.
Yusuf adalah orang yang memiliki visi yang jelas tentang masa depannya. Ia melihat berkas-berkas saudaranya  sujud ke arah berkas yusuf. Di lain kesempatan ia melihat matahari dan bulan serta sebelas bintang sujud ke arah Yusuf. Mimpinya itu  membuat ia dibenci saudara-saudaranya. Mereka berpikir bahwa Yusuf mau menjadi raja atas mereka. Kita tahu, Allah memberikan hal itu kepadanya. Pada hakekatnya, kepada kita pun Allah mau memberikan apa yang akan dikerjakan-Nya melalui kita.
Nabi Yoel bernubuat: “Kemudian dari pada itu akan terjadi, bahwa Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas semua manusia, maka anak-anakmu laki-laki dan perempuan akan bernubuat; orang-orangmu yang tua akan mendapat mimpi, teruna-terunamu akan mendapat penglihatan-penglihatan”. Nas ini dikutip rasul Petrus dalam peristiwa Pentakosta di Yerusalem. Satu pertanyaan perlu kita ajukan kepada setiap orang yang bekerja: “Apa yang saudara mau capai? Untuk siapa semua yang saudara mau capai itu”?
Nomensen memiliki visi yang jelas untuk tanah Batak! Allah menggenapi apa yang diperlihatkan-Nya kepada hamba-Nya ini di Dolok Siatasbarita. Martin Luther King Jr. pernah menyuarakan visinya untuk masa depannya, masa depan sahabat-sahabatnya, dan orang-orang yang dikasihinya. Ia berkata: “Saya punya cita-cita bahwa pada suatu hari nanti bangsa ini akan bangkit dan hidup sesuai dengan arti ikrarnya yang sebenarnya” ‘Kita memegang kebenaran-kebenaran ini sebagai sesuatu yang terbukti sendiri: bahwa semua orang diciptakan sederajat’. Bangsa Amerika menikmati hal itu sekarang ini. Ada sebuah lagu rakyat Irlandia berbicara tentang visi. Lagu itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam Kidung Jemaat Nomor 405. lirik lagu itu sebagai  berikut:

Be Thou my vision, O Lord of my heart
Naught be all else to me, save that Thou art
Thou my best Thought, by day or by night
Waking or sleeping, Thy presence my light.

Be Thou my Wisdom, and Thou my true Word
I ever with Thee and Thou with me, Lord
Thou my great Father, I Thy true son
Thou in me dwelling, and I with Thee one.

Riches I heed not, nor man's empty praise
Thou mine Inheritance, now and always
Thou and Thou only, first in my heart
High King of heaven, my Treasure Thou art.

Dengan merenungkan lirik lagu tadi, visi itu seharusnya menjadi bagian dari kehidupan orang percaya.

Dimensi Kekal
Namun nas kita pada hari ini mengingatkan kita tentang sisi negatif dari bekerja. Yesus mengatakan bahwa ada pekerjaan dimana hasilnya tidak bertahan hingga hidup kekal. Kita diciptakan untuk kekekalan. Itulah disain Allah bagi setiap orang percaya. Oleh karena itu, pekerjaan yang kita lakukan itu pun haruslah bertahan sampai ke dalam kekekalan. Lalu pertanyaan yang perlu diajukan kepada kita ialah: hal-hal apa saja yang dapat dikategorikan sesuatu yang dapat bertahan sampai ke kehidupan kekal? Atau dengan perkataan lain pekerjaan yang memiliki dimensi kekekalan.
Yesus berkata bahwa kekekalan itu Dia sendiri yang memberikannya kepada kita. Itu berarti Yesus akan memberikannya melalui pekerjaan yang sedang kita geluti. Nilai kekekalan itu disebut orang ialah segala sesuatu yang kita kerjakan di dalam Tuhan. Yesus berkata: “Dan barangsiapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya dari padanya" (Mat. 10:42). Ada tiga hal yang dapat kita bawa ke surga. Pertama, semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus karena kesaksian kita. Kedua, segala sesuatu yang kita lakukan sebagai ibadah. Ketiga, diri kita sendiri. Bekerja yang dipahami sebagai ibadah adalah sesuatu yang memiliki dimensi kekekalan. Marilah kita melakukan pekerjaan kita dengan penuh kreatifitas, sehingga orang melihat Allah di dalam Yesus Kristus yang mewujud.


[1] [1] Disajikan dalam Penelahan Alkitab Ina HKBP se resort Menteng. Penulis adalah sintua di HKBP Menteng, menjalani pelayanan itu sejak doli-doli.

26/07/11

Ibadah




IBADAH


Kata ibadah sudah sangat familiar di telinga kita. Kata itu sudah menjadi bagian dari hidup kita di dalam beriman kepada Yesus Kristus Tuhan kita. Kebaktian-kebaktian yang kita selenggarakan, kita sebut juga dengan nama ibadah. Kata ibadah adalah kosa kata yang kita serap dari bahasa Arab. Kata itu adalah kata benda dalam bahasa Arab. Kata dasarnya adalah ‘abad’, artinya adalah hamba. Padanan kata ibadah di dalam bahasa Ibrani adalah abodah. Sama seperti bahasa Arab, kata dasarnya dalam bahasa Ibrani ialah ‘abed’, artinya juga adalah hamba. Dari kata ‘abad’ dalam bahasa Arab, keluar kosa kata ‘abdi’ artinya pun sama, yakni hamba. Jadi, tatkala kita mengadakan ibadah, pada hakekatnya, kita sedang menunjukkan kepada Allah yang kita sembah dan puji itu, bahwa kita adalah hamba.
Bilamana para hamba berkumpul, maka percakapan di dalam pertemuan itu bukanlah para hamba itu sendiri, melainkan menceriterakan apa yang diperbuat tuan terhadap mereka. Hamba bukanlah topik pembicaraan utama, melainkan tuan. Tetapi, tatkala mengikuti kebaktian-kebaktian yang populer sekarang ini di kalangan orang muda, kebaktian yang kita sebut sebagai ibadah, sungguh sangat berbeda dengan konsep seorang hamba! Pusat perhatian di dalam ibadah modern sekarang ini ialah: hamba! Tujuan utama dari ibadah itu diselenggarakan adalah dalam rangka menghibur para hamba yang berkumpul pada waktu itu. Tuhan pun diundang di dalam ibadah itu, namun Ia diundang di dalam rangka mencurahkan berkat-Nya bagi mereka yang sedang berkumpul. Notabene, mereka adalah hamba! Kesan seperti itu mewarnai hati saya, tatkala mengikuti kebaktian dari Gereja yang sedang marak sekarang ini.
Oleh karena itu, saya mulai merenungkan di dalam hati, apakah makna dari ibadah Kristen yang sesungguhnya. Orang-orang yang giat di dalam pola ibadah seperti di atas mengatakan bahwa mereka berkumpul untuk memuji Allah dan menyembah Dia. Bukankah di dalam acara mereka ada saat penyembahan? Para ahli teologia sering menyebut ibadah Kristen itu terbagi dua. Pertama namanya adalah ibadah hening, sementara yang kedua ibadah ribut. Ibadah populer adalah ibadah ribut, sementara ibadah hening adalah ibadah dari Gereja arus utama. Ajaran yang mengatakan: kita harus kembali ke dalam Alkitab, sering mengatakan bahwa orang Israel bertepuk tangan di dalam beribadah kepada Tuhan. Lalu mereka mengutip ayat-ayat di dalam Alkitab sebagai bukti dari argumennya. Lalu, saya bertanya di dalam hati: apakah demikian bentuk ibadah Israel di Bait Allah? Aku pernah membaca sebuah buku yang berceritera tentang ibadah yang diselenggarakan di Bait Allah pada perayaan Paskah. Bait Allah di Yerusalem itu tidak terlalu besar, jika dibandingkan dengan bangunan di zaman modern ini. Pada saat perayaan paskah itu, ada ribuan kambing atau domba dipotong. Juga ratusan lembu disembelih. Ada ribuan orang yang hadir di sana pada waktu perayaan paskah tersebut. Tetapi menurut penulis buku tersebut, suasana di dalam Bait Allah itu sangat hening. Tidak terdengar suara apa pun, pada hal aktifitas di sana sangat intens.
Saya melihat ibadah orang Yahudi yang sudah mereka warisi sejak ribuan tahun lamanya di tanah suci, di Tembok Ratapan. Tatkala mereka berdoa di sana, memang ekspressif sikapnya, namun mereka diam. Ada banyak orang Yahudi yang berdoa di sana. Mereka tidak ribut. Mereka berdoa dan beribadah sebagaimana diajarkan oleh Alkitab kepada mereka. Mungkin makna kembali ke Alkitab di dalam konteks beribadah perlu direnungkan kembali.
Salah satu bagian dari ibadah yang kita soroti ialah: nyanyian. Menyanyi adalah bagian yang tak terpisahkan dari ibadah orang Kristen. Gereja Protestan pada umumnya memahami bahwa nyanyian itu adalah bagian dari pemberitaan Injil. Karena Injil diberitakan di dalam dan melalui nyanyian, maka satu hal yang wajib diungkapkan di dalam nyanyian itu ialah: ceritera pekerjaan Tuhan Yesus di dalam rangka menyelamatkan manusia. Oleh karena nyanyian adalah pemberitaan Injil, maka lirik nyanyian itu menjadi panjang. Nyanyian yang di nyanyikan di dalam ibadah Protestan tidak pernah hanya satu ayat. Karena tidak mungkin hanya berceritera tentang apa yang diperbuat Tuhan Yesus di dalam satu ayat.
Berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Gereja dengan ibadah ribut. Nyanyian bukan sebuah pemberitaan Injil. Nyanyian adalah sebuah persembahan. Karena nyanyian itu adalah persembahan, maka lirik dari nyanyian itu bisa saja hanya satu ayat saja. Kenyataannya lirik lagu rohani populer sekarang ini pada umumnya hanya satu ayat. Nyanyian itu tidak berceritera tentang apa yang diperbuat Tuhan Yesus di dunia ini. Nyanyian itu hanyalah berceritera tentang diri sipenggubah lagu. Melalui nyanyian itu, orang yang menyanyikannya berceritera tentang dirinya sendiri. Itulah perbedaan yang sangat menyolok nyanyian Gereja-Gereja arus utama dengan ibadah ribut. Subyek di dalam nyanyian pop adalah manusia. Subyeknya adalah hamba. Sementara itu di sisi lain, nyanyian Gereja tua subyeknya adalah sang tuan, yakni Yesus Kristus. Marilah kita lihat perbedaannya di dalam lirik lagu di bawah ini:
Kusiapkan hatiku Tuhan tuk dengar firman-Mu, saat ini,
kusujud menyembah-Mu Tuhan masuk hadirat-Mu saat ini.
Curahkan urapan-Mu Tuhan bagi jemaat-Mu saat ini,
kusiapkan hatiku Tuhan tuk dengar firman-Mu.

Firman-Mu Tuhan, tiada berubah,
dahulu sekarang selama-lamanya, tiada berubah,
firman-Mu Tuhan penolong hidupku,
kusiapkan hatiku Tuhan tuk dengar firman-Mu.

Nyanyian ini kelihatannya sangat rohani. Tetapi saya bertanya di dalam hati: apakah manusia dapat mempersiapkan hatinya supaya siap untuk mendengar firman Tuhan? Bukankah hati manusia adalah penipu kata nabi Yeremia? Paulus mengatakan di dalam Flp 2:13 “karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya”. Di dalam konteks ibadah kepada Tuhan, bukan kita, melainkan Allah yang mengerjakannya di dalam diri kita melalui Roh Kudus-Nya. Itu kata Alkitab. Sekarang kita perhadapkan dengan penggubah lagu ini, dan melalui dia begitu banyak orang yang punya konsep seperti dia. Mereka semua mempersiapkan diri agar mendengar firman Tuhan. Tetapi apa memang betul-betul mereka bisa siap?
John Bunyan, seorang tokoh Gereja yang terkenal dari Inggris pernah mengatakan: “Ya Allah, ikatlah hatiku jika sudah datang di hadapan tahta kasih karunia-Mu. Sebab jika tidak, ia akan segera menyingkir dari situ”. – Saya tidak lagi ingat di buku mana kutipan itu saya baca. Pengalamanku pun demikian. Tatkala aku sudah sungguh sunguh datang kepada Tuhan di dalam doa, eh, sebentar saja, hatiku telah menerawang ke arah lain. Hebat si penggubah lagu ini. Ia benar-benar bisa mempersiapkan hatinya untuk dengar-dengaran kepada firman Tuhan. Jika ia benar, maka perkataan Paulus di dalam Flp 2:13, itu tidak benar. Bukan hanya Allah yang mengerjakan di dalam diri kita kemauan untuk melakukan kehendak-Nya. Kita juga bisa, jika sepenggubah lagu di atas benar. Itu pesan dari lirik nyanyian tadi. Tetapi di sisi lain, aku hanya percaya firman Tuhan dari pada omongan manusia.
Karena irama nyanyian itu enak, aku pun menyanyikannya, tetapi aku merubah kata-katanya sebagai berikut:
Kau siapkan hatiku Tuhan tuk dengar firman-Mu saat ini.
Kami sujud nyembah-Mu Tuhan di hadirat-Mu, saat ini.
 Bukakan mata hati kami tuk li’at kmuliaaan-Mu saat ini.
Kau siapkan hatiku Tuhan tuk dengar firman-Mu.

Firman-Mu Tuhan, tiada berubah,
dahulu sekarang selama-lamanya, tiada berubah,
firman-Mu Tuhan penolong hidupku,
kausiapkan hatiku Tuhan tuk dengar firman-Mu.

Lirik itu lebih Alkitabiah menurut hemat saya, ketinbang lirik aslinya.

Masalah utama di dalam ibadah ribut sekarang ialah: manusia yang menjadi pemegang peranan aktif dalam ibadah yang diselenggarakan. Allah hanyalah sebagai penonton. Memang, Allah dipuji di sana. Tetapi Ia hanya diam. Para hamba-Nya yang aktif menyembah dia. Di satu sisi kelihatannya sangat benar! Tetapi jika kita ukur dengan ukuran firman Tuhan, menurut hemat saya, itu tidak pas. Marilah kita lihat nyanyian yang didisain untuk memberitakan Injil.
Kudisalibkan dengan Tuhanku; hidup-Nya pun diberi padaku .
Memandang pada-mu ya Tuhanku, kutiap saat benar milik-Mu.
Setiap saat hatiku kenal, kasih ilahi dan hidup kekal.
Memandang pada-Mu ya Tuhanku, ku tiap saat benar milik-Mu.

Di pencobaan Tuhanku dekat, turut memikul beban yang berat,
Di kedukaan Teman yang erat, setiap saat dibrinya berkat.
Setiap saat hatiku kenal, kasih ilahi dan hidup kekal.
Memandang pada-Mu ya Tuhanku, ku tiap saat benar milik-Mu.

Tiada tangisan dan hati sedih tiada keluh dan bahaya ngeri
Yang oleh Yesus tak dimengerti setiap saat dengan tak henti.
Setiap saat hatiku kenal, kasih ilahi dan hidup kekal.
Memandang pada-Mu ya Tuhanku, ku tiap saat benar milik-Mu.

Kelemahanku dirasakan-Nya; bila ku sakit dipulihkan-Nya;
Setiap saat gelap dan cerah, Yesus Tuhanku menyucikan-Nya.
Setiap saat hatiku kenal, kasih ilahi dan hidup kekal.
Memandang pada-Mu ya Tuhanku, ku tiap saat benar milik-Mu.

Lirik lagu di atas berceritera tentang apa yang diperbuat Yesus bagi orang yang menyanyikannya. Spotlight diarahkan kepada Yesus di dalam ibadah itu. Sementara lampu-lampu dipadamkan agar tidak ada terang lain yang turut ambil bagian di dalam drama ibadah tersebut. Itulah ibadah yang berpusatkan kepada Kristus, bukan berpusat kepada para hamba.
Berdasarkan apa yang dilihat oleh Yohanes, tatkala ia diangkat ke sorga, sebagaimana dilaporkannya di dalam kitab wahyu, di sorga ia melihat ada kebaktian. Ada sebuah tahta dilihatnya di sorga. Tahta itu dikelilingi dua puluh empat tua-tua dan empat mahluk. Tatkala mereka sedang memuji Allah, keduapuluh empat tua-tua itu melemparkan mahkotanya di hadapan tahta itu. Di surga lampu sorot di sorotkan kepada tahta. Orang-orang yang ada disekitarnya melemparkan mahkotanya di hadapan tahta itu. Itulah ibadah di sorga sebagaimana dicatat di dalam kitab Wahyu pasal 4 dan 5.
Kembali ke persoalan kita di depan, yakni ibadah. Jika surga mendemonstrasikan sebuah ibadah yang berpusatkan kepada karya Kristus, maka Gereja di dunia ini pun merefleksikan apa yang dilakukan surga itu. Apa yang terjadi di surga menjadi acuan bagi dunia. Itulah prinsip yang seharusnya dilakukan oleh dunia di dalam melaksanakan ibadah. Tatkala surga dan dunia melakukan ibadah, hati saya pun memberi respon. Maka pada hakekatnya ibadah itu terlaksana di tiga tempat, surga, dunia dan hati. Ibadah seperti itu diikat oleh ikatan yang seirama. Istilah musik menyebutnya dengan istilah: cord. Saya membayangkan surga menyanyi dengan mengambil nada dasar  ‘sol’. Di surga yang ditinggikan dan yang disembah adalah Kristus Yesus dengan pekerjaan-Nya yang menebus umat manusia dari perhambaan dosa. Itulah nada dasarnya surga. Sementara itu, di dunia pun ibadah diadakan. Ibadah yang dilakukan oleh dunia itu mengambil nada dasar ‘mi’. dunia menduplikasi apa yang dilakukan surga. Kemudian hati saya yang turut melakukan ibadah itu mengambil nada dasar ‘do’. Saya mendengar Injil Yesus yang diberitakan di dalam ibadah. Lalu saya mengaminkan apa yang dilakukan surga dan dunia. Tatkala ibadah itu dilakukan serentak, maka tercipta satu cord yang nada dasar masing adalah” “sol, mi, do’. Roh Kudus yang menjadi dirigen dari ibadah tersebut. Wah, sungguh sangat luar biasa. Surga, dunia dan hati kita berada di dalam ikatan yang sama menyanyi meninggikan Yesus Kristus sang Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia.
Alangkah indahnya bilamana surga dan dunia seirama di dalam melaksanakan ibadah itu. Sayang, kesan yang ada di dalam hati ini secara pribadi ialah: ibadah yang diselenggarakan secara populer sekarang ini menekankan suasana hati dari mereka yang melakukan ibadah tersebut. Pemimpin pujian akan mengulang-ulang pujian itu, sampai ia melihat bahwa peserta ibadah telah penuh semangat di dalam menyanyi. Kesan yang ada di dalam hati: subyek di sini ialah: manusia. Manusialah yang perlu di hibur di sini. Allah hanyalah dia yang disembah di dalam rangka memberkati orang yang sedang menyembah dia. Rasa-rasanya ibadah para penyembah berhala pun dilakukan dengan pola seperti itu. Penyembah berhala menyembah berhalanya, agar sang berhala memberkati para pemujanya. Aku mendiskusikan sebuah lagu pop rohani di dalam hati. Syairnya sebagai berikut:

Saat kami berkumpul Roh-Mu bekerja, ajar kami memuliakan nama-Mu.
Bila hati kami mulai menyembah, berkat-Mu atas kami Tuhan, berkat-Mu atas kami.
Saya bertanya di dalam hati, apakah Roh Kudus bekerja mengajar kita untuk memuliakan nama Allah hanya saat kita berkumpul? Aku perhatikan, syair nyanyian itu menekankan bahwa Allah mulai memberkati, saat kita mulai menyembah. Apakah aku salah, jika mengatakan bahwa Allah kita memberkati kita, pun sebelum kita menyembah Dia. Oh, ada orang mengatakan bahwa maksudnya tidak seperti itu. Lalu berkat apa yang diharapkan tatkala hati kita mulai menyembah? Ini persis seperti membeli sesuatu, saya sudah membeli voucher belanja, maka kepada saya harus diberikan apa yang saya kehendaki sesuai dengan harga voucher belanja tersebut.  Jika sikap hati seperti itu di dalam menjalani sebuah ibadah, kita dapat mengatakan bahwa sikap seperti itu adalah sikap hati para pemuja yang bukan Allah.
Orang kudus PL memberi kesaksian bahwa Allah yang menaruh nyanyian di hati mereka, lalu mereka menyanyi. Bukan karena mereka memuji barulah Allah menaruh sesuatu di dalam hati mereka. Ayub mengatakan demikian (Ayub 35:10). Daud juga mengatakan demikian(Mzm 40:4). Yesaya pun mengatakan hal yang sama (Yes 61:3).
Ibadah kita dilakukan untuk Dia yang telah berkarya di dalam hidup kita. Keselamatan kita, dia yang mengerjakan-Nya. Segala sesuatunya Dia yang melakukannya demi kita. Itulah yang disuarakan Paulus di dalam Rom 11:36 “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Di tempat lain, Paulus mengatakan: “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” Gal 2:20.
Marilah kita beribadah sesuai dengan disain yang telah dibuat Allah di dalam surga. Roh Kudus yang memimpin ibadah itu. Dia tidak akan meninggikan diri-Nya sendiri di dalam ibadah itu. Demikian kata Tuhan Yesus.
Selamat beribadah!

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...