14/04/11

INMEMORIAM V




Rumah Duka

Hari Selasa tanggal 11 Deember 2007, jam 05.00 saya bangun dari tidur, lalu membersihkan diri dan berpakaian resmi. Kami menginap di kamar yang disediakan RSPGI Cikini bagi keluarga yang berduka. Aku keluar dari kamar yang tidak jauh dari tempat Tiur disemayamkan. Ia sendirian terbujur kaku di pembaringannya. Aku duduk di sisi kanannya sambil memandangi wajahnya yang kelihatan seperti orang yang sedang tidur.

Pada waktu itu ada juga orang yang baru meninggal di bawa ke kamar mayat untuk menjalani proses formalin. Anggota keluarga dari almarhumah tersebut lalu lalang di sana, sambil melihat saya dan Tiur sendirian. Aku mendengar suara orang yang mengatakan: “Kasihan benar orang ini, tidak ada keluarganya yang menemani dia!“ Lalu kesedihan melanda hati yang sedang berduka ini. Aku menangis sungguh amat dalam. Aku berkata kepada Tuhan: “Tuhan, seandainya aku punya anak, maka mereka itu akan menyertai aku di sisi ini untuk menemani Tiur yang terbaring ini“ sungguh sangat sedih rasanya pada waktu itu.

Kemudian Iblis datang merasuk ke dalam hati dan menyuarakan agar engkau mati saja. Aku pun meminta agar Tuhan mengambil nyawaku pada saat itu. Namun aku tidak dibiarkan mengalami kesedihan itu terlalu lama. Tidak lama kemudian, seorang teman lama datang dan menyapa saya. Pikiran agar mati saja segera sirna. Melalui kejadian ini Tuhan memberikan sebuah pelajaran lain kepada saya di dalam hari-hari terakhir Tiur. Tatkala kesedihan mendalam menggeluti hati yang berduka ini, tatkala tidak ada orang yang menyertai, duka sangat mendera dan hati merindukan kematian segera menjemput. Tuhan memberi penghiburan melalui kedatangan teman lama tersebut. Ia datang dan memeluk tubuh yang sedang gemetar menahan kesedihan yang amat dalam. Tidak ada sepatah kata pun yang diutarakannya. Tetapi hal itu tidak perlu! Tangan yang kuat dan memeluk tubuh yang gemetar, lebih bermakna bagi saya dari pada kata-kata.

Ia menyertai saya duduk di kursi, sambil memegang tangan yang masih gemetar, ia menyertai saya di dalam duka. Untuk beberapa menit, kami tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi justru melalui keheningan itu, damai sejahtera Allah mulai mengalir dan mengairi hati yang berduka. Tubuh mulai tenang, hati pun mulai menemukan ketenangannya. Orang berdatangan. Lalu teman itu mulai bergeser ke kursi yang lain, untuk memberikan tempat bagi orang yang baru datang. Semakin banyak orang datang, ia pun semakin menjauh dari sisi saya. Tetapi ia masih ada di sana. Akhirnya ia menempati tempat duduk di luar, karena orang datang untuk mengadakan acara penghiburan.

Tatkala saya melihat ke luar, ia masih di sana! Tatkala mata ini melihat ia masih di sana, saya merasa sangat terhibur. Ia ada untuk saya! Sekali lagi, tidak ada sepatah kata pun, tetapi apa yang dilakukannya sangat berarti bagi saya secara pribadi. Itulah pelajaran yang sangat berharga. Sering saya memahami, namanya pelayanan adalah sesuatu yang kita lakukan kepada orang lain, di mana kita aktif di dalamnya. Melalui apa yang dilakukan orang itu, saya sadar, pelayanan bukan hanya sesuatu yang kita lakukan dengan peran yang aktif. Tatkala saya mau menjadi teman bagi orang yang berduka, larut di dalam kedukaannya, itu jauh lebih berarti dari pada ribuan kata. Sekali pun kata yang kita utarakan adalah Firman Tuhan.

Ada orang yang mengatakan: aku lebih suka berjalan bersamaku ketimbang hanya menunjukkan jalannya. Aku akan berjalan dengan orang yang membutuhkan teman di dalam perjalanan duka dan nestapa. Aku akan belajar untuk tidak berbicara, sebab mungkin itu bukan yang dibutuhkannya. Ia hanya membutuhkan teman untuk berjalan di jalan itu. kisah yang mirip dengan apa yang saya utarakan, juga disuarakan Henry Nouwen dalam bukunya: Kau ubah ratapku menjadi tarian[1]. Terpujilah Dia yang telah mengajar hamba-Nya ini sekarang hingga selama-lamanya. Amin.

Orang berdatangan. Sungguh saya heran, karena jumlah yang datang itu sangat banyak. Di mulai dari kumpulan ibu-ibu dari seksi parompuan HKBP Menteng, terdiri dari koor Ina Lidya, Ina Ompung dan koor Ina, dipimpin oleh Pendeta Maridup Purba. Mereka mengadakan acara penghiburan bagi saya yang berduka pada siang hari itu.

Rombongan kedua yang membuat acara ialah: Ibu Pendeta Ny. Sihite br Saragih.  Beliau sudah pensiun dari jabatan kependetaan. Terakhir menjabat sebagai pendeta resort HKBP Tebet. Beliau datang untuk melawat keluarga yang ditempatkan di rumah duka RS PGI Cikini juga. Tetapi karena ia tahu bahwa keluarga sintua dari HKBP Menteng meninggal dan disemayamkan di sana, maka beliau datang dan mengadakan acara penghiburan. Nas yang dikhotbahkan beliau diambil dari Kitab Wahyu 14:13 ’’Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: "Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini." "Sungguh," kata Roh, "supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka."

Ada enam orang pendeta HKBP yang mengutip ayat ini di dalam acara kebaktian penghiburan yang diselenggarakan untuk menghibur saya dan keluarga. Inang inilah yang pertama. Pendeta yang kedua mengutip ayat tersebut ialah Pdt Mangatas Aritonang. Ia memimpin para remaja dan pembina remaja HKBP Menteng, Naposobulung HKBP Menteng dan anggota Penelahan Alkitab Pasutri HKBP Menteng.

Dalam acara tersebut, Tuhan menghibur saya dengan ucapan salah seorang yang mewakili teman-temannya, ia berkata: “Bang Hotman pernah mengatakan kepada saya tentang anak yang tidak punya! Abang punya anak banyak, kami-kami ini adalah anak abang! Lihatlah banyaknya anak-anak abang yang berdiri di sini. Oleh karena itu jangan sedih! Mereka yang berdiri itu kurang lebih empat puluh orang. Teman lain mengatakan: “jika ada yang perlu, bilang saja, kami akan segera datang“ Tuhan membalut luka yang terjadi pada pagi hari itu, di mana saya merasa tidak punya anak! Terpujilah Tuhan yang menghibur hati yang luka ini.

Pendeta yang ketiga memberitakan firman yang sama ialah: Praeses HKBP Distrik XXI Jakarta 3, Pendeta JAU Dolok Saribu. Beliau datang dengan rombongan mengatasnamakan Majelis Pekerja Sinode Distrik (MPSD) HKBP Distrik XXI Jakarta 3. Beliau mengingatkan saya tentang pengalamannya kehilangan anak beberapa bulan yang lalu. Ia pada hakekatnya masih dalam masa perkabungan. Tetapi dukacita tidak menghalangi beliau melayani Tuhan. Saya pun harus meniru beliau, terus melayani, sekalipun masih dibayang-banyangi kesedihan.

Pendeta yang keempat yang mengatakan nas yang sama ialah: pendeta Hary Panggabean. Ia memimpin rombongan jemaat dan majelis – parhalado – HKBP Menteng. Saya merenungkan makna dari tiap kata-kata yang mereka ucapkan. Satu catatan yang menghiburkan hati saya dalam acara ini ialah: Paduan Suara Ama HKBP Menteng menaikkan lagu pujian bagi Allah dalam acara itu hingga dua kali. Saya bukan anggota paduan suara Ama. Sekalipun saya bukan anggota mereka, namun mereka datang untuk memberikan penghiburan bagi hati yang berduka ini. Terpujilah nama Tuhan yang memberikan kepada mereka sukacita di dalam menghibur kami.

Dalam acara itu, seorang sobat[2] saya berdiri menyampaikan kata-kata penghiburan mewakili rekan-rekan majelis – parhalado – Ia mengingatkan saya tentang begitu banyaknya momen di mana saya mengucapkan kata-kata penghiburan bagi orang berduka seperti saya di masa lalu. Lalu ia mengingatkan saya agar tegar seperti apa yang abang suarakan pada masa-masa lalu. Ucapannya itu membangkitkan hati ini untuk bangkit dari kesedihan dan berdiri tegak bagi hormat dan kemuliaan Allah. Tuhan mengutus orang itu untuk mengingatkan saya atas semua perkataan yang pernah saya ucapkan terhadap orang yang sedang berduka karena ditinggal orang yang mereka kasihi. Tuhan mengatakan di dalam hati saya agar melakukan apa yang telah engkau katakan terhadap orang lain.

Perkataan seperti itu banyak saya terima dari orang-orang yang menghibur saya di hari-hari terakhir bulan Desember 2007. Salah satunya ialah: kata penghiburan yang dikatakan St. D. R Nainggolan, tatkala majelis jemaat beserta anggota jemaat HKBP Menteng mengadakan acara penghiburan buat saya secara pribadi. Beliau mengutip kisah tentang Raja Daud dalam II Samuel 12:15-23. Beliau mengatakan bahwa ayat ini sering dikutip oleh St. Hotman Siahaan dalam menyampaikan penghiburan kepada orang yang berduka karena ditinggal anggota keluarga yang terkasih. Sekarang, ayat ini pula yang kami utarakan saudara! Biarlah saudara mengatakan dan melakukan seperti apa yang dilakukan Daud dalam kisah ini. Saya mengiyakannya di dalam hati. Bukan Tiur yang dapat datang kepada saya, melainkan sayalah yang dapat datang ke tempat Tiur. Oleh karena itu, saya harus bangkit dari kesedihan ini dan kembali melayani Tuhan dengan sukacita. Terpujilah Tuhan yang telah mengutus orang itu untuk mengingatkan saya.

Pendeta yang kelima ialah: Kepala Departemen Diakonia HKBP. Beliau datang bersama rombongan dari Yayaan Gema Kiryasa (YGK). Dua orang dari yayasan ini yang hadir pada waktu itu ialah: saudara  Antony Sihombing dan saudara saudara Luhut Sagala. Antony juga menulis surat elektronik di maling list Doakan HKBP sebagai berikut:

Sahabatku,

Tadi malam saya janjian dengan bang Hotman Siahaan untuk ambil beberapa  bukunya untuk saya bagikan ke kawan-kawan Yayasan Gema Kiryasa (YGK). Saya berangkat dari Cimacan  Puncak (ada Raker) sekitar pukul dua puluhan, menuju RS PGI Cikini dengan harapan bang Hotman masih belum tidur. Di tengah jalan, di Salemba, saya dikagetkan dengan SMS bang Hotman Siahaan yang memberi tahukan bahwa istrinya yang sangat dicintainya telah dipanggil  Bapa di sorga. 

Sehari sebelumnya, bang Hotman Siahaan banyak menyaksikan pengalaman hidupnya berjalan  bersama Tuhan (seperti judul bukunya) terlebih kebersamaannya dengan kak Tiur.  Memang luar biasa "cinta" di antara mereka, bak khotbah hidup yang dapat kita  saksikan sendiri.

Kak Tiur kami kenal setelah pernikahannya dengan bang Hotman Siahaan. Setelah itu kami  banyak belajar dan bertumbuh melalui ketaatannya melayani Tuhan. Kami mempunyai satu keluarga yang menjadi sahabat dan sekaligus bos saya.  Namun suaminya cepat dipanggil Tuhan sementara istrinya baru saja menjadi  seorang Kristen yang dibabtis di RS PGI Cikini ketika suaminya sedang sakit keras. Sepeninggal suaminya, kami terbeban untuk melayani keluarga ini. Namun, ketika  kami harus pindah sementara ke luar negeri karena tugas belajar, sempat muncul kecemasan: siapa yang akan melayani keluarga ini kelak.

Syukur kepada Tuhan, "ibu" ini berkenalan dengan seorang murid Tuhan yang  sejati, yang kami panggil kak Tiur. Kak Tiur membentuk beberapa kelompok kecil mulanya di gereja HKBP Menteng, tetapi karena alasan kesehatan, persekutuan mereka  pindah ke rumah mereka di sekitar Tanah Abang. Dalam beberapa kali kesempatan,  sahabat kami ini sering menyaksikan bagaimana imannya (keKristenannya) semakin  teguh dibangun dalam persekutuan kelompok kecil mereka yang dibina oleh kak Tiur. Sampai akhir hayatnya, kak Tiur terus melayani kelompok kecil ini.

Sekarang kak Tiur sudah bersama Yesus di rumah Bapa di sorga. Bang Hotman, seperti kesaksianmu, kami percaya bahwa inilah waktu Tuhan bagi  kak Tiur dan bang Hotman. Kelak kita akan bersamanya di rumah Bapa. Tuhan  Yesus yang memberi kekuatan kepada bang Hotman. Untuk kemulianNya. Amin

Kel. Antony Sihombing (murid rohani kel Hotman Siahaan)

Satu lagi pendeta yang turut dalam rombongan ini ialah: Pendeta Bonar Lumban Tobing. Beliau ini sempat melayani bersama saya untuk waktu yang singkat di HKBP Menteng, tatkala beliau menjalani tugas belajar di STT Jakarta. Ia memberi penghiburan dengan mengutip apa yang saya tulis dalam buku ini tentang masalah perjamuan kudus. Apa yang diutarakannya sungguh menyejukkan hati. Ada orang yang mendukung kita di dalam hal yang kita pergumulkan.

Pendeta keenam yang mengutip nas tersebut ialah Pendeta Hotma Pasaribu, tatkala kebaktian tutup peti diadakan di Gereja HKBP Menteng pada hari Rabu tanggal 12 Demeber 2007, pukul 14.00 WBBI. Tatkala nas itu dibacakan untuk keenam kalinya dalam konteks penghiburan, di lubuk hati saya bergema sebuah suara yang mengatakan: “ungkapan ini akan dikatakan kepada Tiur untuk ketujuh kalinya di sorga oleh Tuhan sendiri“.

Tatkala saya menanyakan kepada salah seorang pendeta itu apa alasannya memilih nas tersebut, maka ia mengatakan: “mengingat apa yang telah dilakukan oleh almarhumah di sepanjang hidupnya, maka sudah selayaknya ia berbahagia dan beristirahat dari segala jerih lelahnya“. Terpujilah Tuhan yang memberikan kesempatan kepada Tiur keadaan seperti itu.

Allah menghibur hati ini melalui orang banyak yang datang untuk melawat. Kami menyediakan tiga ruang rumah duka yang ada di RS PGI Cikini. Pada hari Selasa tanggal 11 Desember, ada begitu banyak orang yang datang melayat. Hal itu aku ketahui setelah peristiwa itu berlalu. Seorang teman mengatakan bahwa ada orang yang bertanya kepada dia: “ siapa orang yang meninggal ini? Kayaknya seorang pembesar!“ Orang susah cari tempat parkir, karena penuh sesak.

Pernah disatu waktu aku mengatakan kepada seorang teman tentang orang mati. “Orang mati menunjukkan keberadaannya di waktu ia mati“. Jika ia seorang yang terkenal, maka akan banyak orang datang melayat. Tetapi jika orang itu tidak terkenal, maka sedikit orang yang datang. Tatkala kita buat pesta, orang datang karena diundang. Itu pun belum tentu datang. Tetapi, tatkala orang meninggal, orang datang bukan karena diundang. Ia datang karena dorongan hatinya sendiri, karena pengaruh dari orang yang meninggal tersebut.

Saya dan Tiur, bukan orang kaya, bukan juga orang berpengaruh secara sosial. Tuhanlah yang menunjukkan kepada saya siapa kami di mata orang, melalui keberangkatan Tiur ke surga. Ada satu rombongan naposo – pemuda – yang pulang dan tidak sempat mengadakan acara penghiburan, karena waktu sudah larut malam. Rombongan terakhrir yang mengadakan acara pada waktu itu, berjalan pada pukul 00.30 pagi. Teman-teman saya naposo ini masih harus berkerja, sementara rumah mereka jauh dari rumah duka, maka mereka memutuskan untuk tidak mengadakan acara penghiburan. Tuhan terima kasih untuk kepedulian yang begitu tinggi dari teman-teman ini buat kami berdua.

Tuhan menampakkan penghiburannya dengan berbagai cara. Acara kebaktian tutup peti diadakan di Gereja HKBP Menteng pada hari Rabu tanggal 12 Desember 2007. Tatkala peti mati didorong ke dalam gedung Gereja, aku menyaksikan teman-teman sintua muda mendorong peti mati kekasihku. Mereka berpakaian jas berwarna hitam. Dengan irama yang tegap dan diiringi nyanyian yang dibawakan soloist, murid Tiur dan murid saya pada waktu ia masih remaja. Ia membawakan nyanyian:

                       Dung sonang rohangku dibaen Jesus i.
                       porsuk pe hutaon di son.
                             Na pos do rohangku di Tuhantai,
                             dipasonang tong-tong rohangkon.

                                     
Sonang do, sonang do
                                      Dipasonang tong-tong rohangkon.
                                      Sonang do, sonang do
                                      Dipasonang tong-tong rohangkon.[3]

         
Syair lagu ini dalam bahasa Inggris: 

When peace like a river attendeth my way
When sorrows like sea billows roll
Whatever my lot Thou hast taught me to say
It is well, it is well with my soul
It is well with my soul
It is well, it is well, with my soul[4]
Aku melihat prosesi itu sebagai satu proses yang agung. Syair dalam bahasa Inggris itu menjadi nyanyian di lubuk hati ini. Lirik nyanyian itu bergema di hati saya dan sangat saya hayati dan imani.

Tidak ada rencana mereka dari semula untuk melakukan hal itu. Roh Kudus yang menggerakkan mereka untuk melakukan prosesi itu untuk menghibur hati yang berduka ini. Tiur dihormati Allah di dalam moment ia ada di tengah-tengah Gereja yang dilayaninya untuk terakhir kalinya. Tuhan Yesus memang mengatakan bahwa setiap orang yang melayani Dia, dihormati Bapa.

Bukan hanya itu, teman-teman yang mendorong peti mati itu bernyanyi bersama untuk memuliakan Allah yang telah membawa putri-Nya ini ke haribaan-Nya. Ini pun tidak ada di dalam kertas acara yang sudah dicetak sebelumnya. Saya sampai menangis mengikuti dalam hati nyanyian yang mereka naikkan ke hadirat Allah Bapa Anak dan Roh Kudus. Adapun lirik dari nyanyian mereka itu ialah:

                                 Sai tiop ma tanganku sai togu au.
                                 Paima tos hosangku ramoti au.
                                 Ndang olo au mardalan sasada au
                                 Sai ho ma ale Tuhan manogu au.[5]

Saya jadi teringat pada waktu Tiur masuk ke ruang operasi untuk menanamkan Semino di tangannya, ia begitu ketakutan. Ia belum pernah sebelumnya menjalani operasi. Tatkala ia dimasukkan ke dalam ruang persiapan, ia membaca sebuah ayat yang terpampang di ruangan itu. Sebuah ayat hafalan bagi kami, yakni Yesaya 41:10 “janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan“. Tatkala Tiur membaca ayat itu, lalu ia berkata di dalam hatinya kepada Tuhan :“ Sai tiop ma tanganku sai togu au. Paima tos hosangku ramoti au.        Ndang olo au mardalan sa sada au. Sai ho ma ale Tuhan manogu au“. Ia mengatakan hal itu sambil menyanyi di dalam hati. Ia menyaksikan hal itu kepada saya dan kepada teman-teman yang datang mengunjungi dia di rumah sakit. Itulah sebabnya saya menangis tatkala mendengar nyanyian tersebut. Dalam hati, seolah olah Tiur yang mengatakannya kepada Allah, tatkala ia meninggalkan kami dalam kebaktian tutup peti tersebut.





[1] Henry Nouwen, Gloria Graffa
[2] St. Luhut Sibarani
[3] Buku Ende HKBP Nomor 213:1
[4] Syair ini diambil dari situs internet situs Song Lyrik termasuk dalam publik domain.
[5] Buku Ende HKBP Nomor 207:1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...