27/03/11

HUKUM KETIGA

HUKUM KETIGA
Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.
Ada seorang pendeta berbicara di televisi berkhotbah, lalu ia memulai khotbahnya dengan mengatakan: “Haleluya, haleluya, haleluya...” saya merasa pendeta itu menyebutkan kata yang sakral itu dengan sikap hati yang sangat enteng! Orang Batak mengatakannya dengan sebutan” “Gait di baen pandita i!”  Rasanya berdasarkan subyektifitas saya yang mendengarkan dia mengucapkan perkataan tersebut dengan sembarangan. Teman-teman dari gereja kharismatik sangat obral dengan kata haleluya. 
Kata ini pada dasarnya terdiri dari dua kata, yakni halelu dan yah. Yang pertama artinya adalah pujilah, sementara yang kedua adalah nama Allah sendiri yakni: Yahweh. Berdasarkan Evangelical Distionary Of Theology, Baker Books 1984 kata haleluyah dipakai di dalam Alkitab hanya dalam bentuk ibadah. Sekarang orang Kristen mengobral kata itu bahkan di dalam percakapan sehari hari yang tidak ada hubungannya dengan ibadah.
Pernah seorang gadis bertanya sesuatu kepada pemandu wisata: “berapa jumlah orang percaya di kota ini? Lalu pemandu wisata itu menjawab: “tidak ada!” Lalu sang gadis itu menyeletuk: “puji Tuhan!”. Apa maksudnya? Kata puji Tuhan juga sudah sangat marak dan diobral dengan sangat murah. Ada juga tendensi sekarang ini semua doa sudah harus ditutup dengan sebutan haleluya!
Martin Luther dalam kathekismus kecil memberi makna hukum ketiga ini sebagai berikut: “Kita harus takut serta kasih kepada Allah, sebab itu jangan mengutuki, mengumpat,memakai guna-guna, berbohong, menipu dengan mamakai nama Allah; sebab hanya dalam penderitaan, kesusahan dan di dalam doa serta pujianlah kita layak menyebut nama Tuhan Allah”. Luther senantiasa memulai penjelasan tentang hukum Musa itu dengan ungkapan: “Kita harus takut serta kasih kepada Allah”. 
Hal yang memotivasi kita untuk melakukan hukum Tuhan itu adalah rasa takut dan kasih kepada Allah. Saya merasakan tidak ada rasa takut kepada Allah di hati mereka yang menyebut nama Tuhan dengan sebutan haleluya dan puji Tuhan tersebut. Tuhan kita itu adalah Allah segala roh kata rasul Petrus. Oleh karena itu ia menganjurkan agar kita hidup dalam rasa takut terhadap Dia Cf. I Pet. 1:17.
Sekarang ini orang tidak lagi peduli akan hukum yang ketiga. Begitu gampangnya orang meyebut nama Tuhan. Bahkan Tuhan itu sudah sangat manusiawi sedemikian rupa, sehingga kita telah kehilangan sisi keilahian-Nya. Kita menyapa dia dengan selamat pagi, selamat siang, selamat malam. Ia sama seperti sesama kita yang lainnya. Ia dibatasi oleh ruang dan waktu, sama seperti kita, sehingga Ia berada di dalam waktu malam, pagi dan siang hari. Yesus memang manusia, tetapi Ia juga adalah Allah! Kita telah kehilangan sisi keilahian-Nya. Kita telah melihat Dia sebagai juru selamat semata-mata. Ia telah menyelamatkan kita dan Ia menjadi sahabat kita. Kita lupa, Ia adalah Tuhan atas segala tuan dan raja di atas segala raja.
Jika kita memahami hukum ini dalam dua sisi sebagaimana kita terapkan di atas, maka kita akan menemukan sisi suruhan di samping sisi larangan untuk tidak menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Suruhannya tentunya adalah kosokbali dari larangan itu sendiri. Saya memahami, suruhan itu ialah: agar kita menyebut nama Tuhan itu dengan rasa hormat dan kasih kepada-Nya. Nama itu adalah nama yang kudus! Nama yang tidak sembarang disebut. Kata sembarangan di sini menunjukkan kepada makna. 
Jangan menyebut nama Tuhan dengan tanpa makna. Menyebut nama Tuhan tanpa makna itu berarti menyebutnya secara otomatis. Sebab dalam ungkapan yang otomatis, di sana tidak ada rasa. Oleh karena itu, tatkala kita menyebut nama Tuhan itu, maka di sana harus ada rasanya. Rasa yang harus ada kata Martin Luther ialah: takut dan hormat serta kasih!
Jika kita perhatikan alur dari hukum ini, maka kita akan menemukan aliran kasih dan takut serta hormat itu sebagai berikut: Ia yang Ada itu, ada di dalam hidup kita, citra yang kita hadirkan di dalam hidup kita itu adalah citra dari dia Yang Ada, lalu kita melakukan hal itu dalam rasa kasih takut dan hormat kepada Dia Yang Ada di dalam hidup kita. Orang sering memahami rasa takut dan hormat dari sudut pandang negatif. 
Oleh karena itu, kita membuang sisi negatif itu dari dalam hidup kita. Hasilnya, muncullah satu pribadi yang akrab dengan kita, dimana pribadi itu dapat dicandai dan dapat kita perlakukan sebagaimana kita memperlakukan teman manusiawi kita. Pola seperti itu tidak dikenal oleh orang-orang kudus di dalam Alkitab.
Abraham disebut namanya sebagai sahabat Allah – “Bukankah Engkau Allah kami yang menghalau penduduk tanah ini dari depan umat-Mu Israel, dan memberikannya kepada keturunan Abraham, sahabat-Mu itu, untuk selama-lamanya? (II Tawarikh  20:7) Namun, tatkala sahabat itu datang untuk mengikat perjanjian dengan dia, maka kesaksian Alkitab adalah sebagai berikut: “Menjelang matahari terbenam, tertidurlah Abram dengan nyenyak. Lalu turunlah meliputinya gelap gulita yang mengerikan. Garis bawah dari saya (Kej 15:12).
Sekalipun Abraham adalah sahabat Allah, sisi kengerian itu tetap tidak hilang, tatkala ia menikmati persahabatan dengan Dia Yang Ada itu. Jika sang bapa orang beriman mengalami hal itu, bagaimana mungkin kita anak-anaknya secara rohani kehilangan kengerian itu? Hukum yang ketiga ini sangat perlu diterapkan di dalam kehidupan anak-anak Tuhan sekarang ini yang telah mulai kehilangan sisi kegentaran terhadap nama Allah. Bukankah nama itu kudus? Bagaimana mungkin orang-orang yang beribadah kepada-Nya menyebutnya dengan sembarangan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rumah Allah

  Rumah Allah Ibrani 3:6 Tetapi Kristus setia sebagai Anak yang mengepalai rumah-Nya; dan rumah-Nya ialah kita, jika kita sampai kepada akhi...